Page 209 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 209
Mochammad Tauchid
kota dan asisten panji (keduanya sesungguhnya pegawai-
pegawai pengadilan polisi) turut menandatangani akte jual
beli pekarangan ini.
Si penjual membayar uang pulasi (uang saksi) 5% dari
harga tanah itu, yang 2/3 untuk kawedanan dan yang 1/3 untuk
polisi. Kalau kawedanan kanca dan kawedanan cangkok tidak
bersamaan, maka dibagi masing-masing 1/3 nya.
Indung cangkok kawaedanan dapat menjual lagi peka-
rangannya dengan persetujuan pembesar-pembesar di situ
dengan surat-surat perjanjian seperti biasa. Memberikan
(nglintirake, ngrilakaken) tanah pekarangan kepada anak ang-
kat juga dengan cara-cara seperti di atas.
Cangkok dapat juga menjual sebagian pekarangannya.
Cangkok itu tetap sebagai cangkok atas pekarangannya semula,
sedang pembeli menjadi indung cangkok. Cangkok asli menjadi
patuh cangkok (lurah cangkok). Indung berkewajiban memba-
yar kepada patuh. Indung yang mendapatkan dengan jalan
membeli tidak dapat diusir, sekalipun dia “salah”. Indung dapat
menjual sendiri tanah (sebagian) pekarangannya dengan
pengetahuan patuh dan harus ada izin dari kawedanan. Ada
juga kemungkinan untuk kedua orang anak laki-laki menjadi
cangkok, akan tetapi hal ini tidak terjadi. Sering juga kejadian
seorang indung cangkok membagi lagi tanahnya. Indung baru
yang menerima dari separo pekarangan indung cangkok men-
jadi indung cangkok kawedanan. Jadi tidak menjadi indung
orang yang memberikan separo tanahnya itu.
Penukaran tanah pekarangan di antara prajurit yang men-
diami dalam satu kampung bisa terjadi. Tetapi ini bisa menim-
bulkan perselisihan dan yang berhak menjelaskan perselisihan
ini adalah kawedanan prajurit.
188