Page 211 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 211
Mochammad Tauchid
golongan-, sudah diberikan kepada keluarga-keluarga raja.
Tanah yang diberikan ini merupakan kampung yang lebar yang
dipagari tembok (cepuri) untuk kediaman keluarga raja. Di
samping itu banyak pekarangan kecil-kecil didiami oleh
penduduk. Penduduk diharuskan membayar kepada pemilik
tanah serta menjalankan kewajiban-kewajiban lain terhadap-
nya. Tanah semacam ini hampir menyerupai tanah lungguh
(apanage). Putera atau sentono (putera atau keluarga raja)
sebagai patuh cangkok dan penduduk di situ sebagai indung
cangkok. Kampung-kampung itu dinamakan menurut nama
pemiliknya: (Suryodiningrat, Mangkubumen dsb). Pergantian
nama terjadi karena pergantian pemiliknya.
Tanah ini dapat dipusakakan kepada keturunannya sam-
pai derajat kedua (graad kedua) dari pemilik yang semula.
Turunan di bawahnya dapat juga tinggal di situ, tetapi Sultan
dapat mengambil tanah itu untuk diberikan kepada keluarga
lain yang lebih berhak dengan memberikan ganti rugi kepada
ahli waris yang mendiami tanah kasentanan. Banyak peka-
rangan seperti ini yang dibeli oleh Sultan dan dijadikan tanah
kongsen dan dipakai oleh keluarga raja selama hidupnya. Pem-
belian tanah ini dilakukan oleh Sultan sendiri dengan uang
dari civiele lijst (uang pengganti kerugian pemerintah kepada
Sultan), bukan dari kas kerajaan.
Pangeran-pangeran dari putera laki-laki Sultan VII semu-
anya menerima tanah kasentanan semacam itu. Dalam pem-
berian tanah yang kemudian disertai perjanjian, tidak diper-
bolehkan lagi menarik pungutan-pungutan dan kewajiban
bekerja kepada indung cangkok.
Berulang-ulang terjadi pembagian tanah kasentanan ke-
pada kedua ahli waris dengan persetujuan pihak yang berkuasa,
190