Page 215 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 215
Mochammad Tauchid
oleh keluarga.
Tanah pekarangan bupati asalnya dari tanah kasentanan
dan haknya diakui. Lambat laun, terutama dalam 50 tahun
terakhir, sekalipun anak-anak turunan bupati tidak menggan-
tikan orang tuanya, atau karena memang tidak ada anaknya,
keluarga-keluarga bupati tetap mendiaminya. Sedangkan yang
menggantikan jabatannya biasanya sudah mempunyai peka-
rangan sendiri. Bupati yang mengantikan ini keberatan untuk
pindah ke pekarangan yang didiami keluarga bupati yang lama
karena harus mengganti kerugian yang tidak sedikit. Maka
kemudian muncullah pekarangan yang luas seperti juga
halnya dengan tanah kasentanan yang masuk dalam urusan
kawedanan.
Tanah-tanah yang jatuh ke tangan keluarga yang sudah
jauh itu lalu diambil oleh Sultan. Tidak hanya dengan pem-
belian tanah dan dijadikan tanah kongsen, tetapi juga dibeli
tanaman dan rumahnya, biasanya diberikan kepada bupati
(terutama kepada menantu) yang belum mempunyai peka-
rangan. Tanaman dan hak mendiami dapat turun temurun
lagi. Kemudian kembali dibeli dan diberi kesempatan men-
diami bagi janda bupati selama hidupnya.
Di sebelah selatan kota terdapat karangkopek Karangkajen
(karangkopek = desa yang tidak mempunyai sawah) diberikan
sebagai apanage kepada Penghulu Landraad. Waktu jabatan
ini diberikan kepada seorang Arab pada tahun 1891, ketib
kulon menerima satu desa tempat para pegawai mesjid tinggal
di situ. Lambat laun wilyah ini masuk dalam kota. Mereka ber-
kedudukan sebagai pegawai yang mempunyai indung cangkok.
Patuh (apanagehouder) dari desa karangkopek berhak me-
mungut bayaran dari penghasilan pekarangan penduduk.
194