Page 355 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 355
Mochammad Tauchid
penjualan tanah, tetapi secara persewaan dengan secara luas,
dengan waktu yang lama (75 tahun). Waktu yang 75 tahun,
dengan kesempatan untuk memperpanjang, dan luas 500
bahu, dengan kesempatan untuk minta tambah lagi, dengan
hak hipotik (zakelijke recht), adalah hak-hak yang besar.
Ketentuan mendapat tenaga untuk tanah partikelir dijamin
dengan hak feodal (pancen, herendienst), untuk konsesi/
erfpacht di Sumatera Timur dijamin dengan Kulieordonnann-
tie dengan poenale sanctie-nya. Sedang buat di Jawa cukup
terjamin dengan tersedianya penduduk yang miskin yang
tanahnya diambil itu. Bedanya hanya nama. Akibatnya kepada
rakyat sama saja. Perbudakan model lama, model abad per-
tengahan, diganti dengan perbudakan model baru, dengan
jaminan hukum baru.
Untuk perlindungan tanah Rakyat, disamping pemberian
hak erfpacht kepada orang asing, ditentukan bahwa tanah-
tanah yang diberikan untuk erfpacht itu hanya tanah-tanah
bebas, yang belum diusahakan Rakyat. Tetapi ada perkecu-
alian, yaitu tanah-tanah Rakyat yang pemiliknya “dengan
kemauan sendiri” suka melepaskan haknya. Dengan istilah
mengembalikan hak kepada Negeri, -tidak menjualnya-,
Pemerintah sudah dapat menyewakan tanah itu kepada orang
asing dengan hak erfpacht, sebagai dinyatakan dalam Kepu-
tusan Kerajaan (Koninkljik beslissing) 4 Agustus 1875 (Bijblad
No. 3020).
Undang-undang tahun 1875 No. 179 melarang penjualan
tanah orang Indonesia kepada bangsa asing, dikatakan sebagai
perlindungan untuk menjaga agar orang Indonesia tidak gam-
pang menjual tanahnya. Untuk menjaga undang-undang itu,
maka dengan undang-undang 14 Februari 1912 Stbl. 177,
334