Page 140 - Pengantar Hukum Tata Negara
P. 140
Pengantar Hukum Tata Negara 129
melalui (2) dua kali memorandum DPR, maka melalui ketetapan
MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertangungjawaban Presiden
227
Indoneisa K.H. Abdurahman Wahid, MPR akhirnya memutuskan
untuk memberhentikan Gusdur sebagai Presiden RI serta
menyatakan tidak berlaku ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999
tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia, putusan ini
diambil setelah Presiden Gusdur tidak hadir dan menolak untuk
memberikan pertangungjawaban dalam sidang istimewa MPR
tahun 2001 serta penerbitan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli
2001, 228 yang dianggap sungguh-sungguh melangar haluan negara.
Dalam proses pergantiannya di berhentikan oleh MPR, padahal
menurut Pasal 8 UUD 1945 belum diamandemen tidak ada kata
“diberhentikan”. Dengan kata lain selama peralihan kepemimpinan
nasional di Indonesia dengan memakai Pasal 8 UUD 1945 tidak
dijalankan sebagaimana mestinya karena intervensi politik yang
melatarbelakanginya.
Berdasarkan pengalaman Presiden Abdurahman Wahid,
pada amandemen ketiga UUD 1945 Ketentuan yang tercantum
pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan:
Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh
227 Mejelis Permusawarantan Rakyat Republik Indonesia, Putusan Sidang
Istimewa MPR RI Tahun 2001, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI,
2001), hlm. 11-17.
228 Gusdur Mengeluarkan Dekrit atau Maklumat pada hari Senin, 23 Juli
2001, pukul 01.05 dinihari, yang berisi tiga butir permakluman: (1).
Membekukan MPR RI dan DPR RI, (2) mengembalikan kedaulatan
ketangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang
di perlukan untuk menyelengarakan pemilihan umum dalam waktu
satu tahun. (3) menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan
unsur-unsur Orde Baru, dengan membekukan partai golkar sambil
menunggu putusan Alian Mahalnya Harga
Demokrasi: Catatan atas dinamika transisi politik Indonesia pasca Orde
Baru, naik dan jatuhnya Abdurahman Wahid, (Jakarta: INSTRANS).
hlm. XI.