Page 161 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 161

penguasaan” atas kawasan Delta Mahakam semakin leluasa dilakukan.
            Seketika kawasan common property, dirubah peruntukannya menjadi
            area-area pertambakan pribadi. Di dalam Kawasan Budidaya Kehutanan
            ( KBK) yang diperkirakan mencapai 90 persen dari luasan kawasan
            Delta Mahakam yang mencapai 108.251,31 Hektar inilah, kegiatan
            pertambakan “ilegal” berlangsung.
                Klaim “Ilegal” mengacu pada perpektif Departeman Kehutanan
            yang mengkategorikan  KBK sebagai kawasan “terlarang” bagi aktivitas
            apapun diluar kegiatan budidaya kehutanan, pemanfaatan kawasan hutan
            tanpa izin dari instansi yang berwenang bahkan dapat dikategorikan
            sebagai “perambah hutan”. Istilah-istilah “mengelola hutan” seperti ini,
            tampaknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan kekuasaan dan ironisnya
            tidak pernah memperhitungkan kebutuhan masyarakat lokal. Secara
            legal formal keberadaan pemukiman di dalam  KBK sekalipun, akan
            dikategorikan illegal oleh pemerintah, meskipun secara historis kawasan
            pemukiman tersebut telah berdiri jauh sebelum kebijakan tersebut
            ditetapkan. Sebagai konsekuensi logis atas penerbitan keputusan Menteri
            Pertanian bernomor 24/Kpts/Um/1983, yang secara sepihak menetapkan
            sebagian besar kawasan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi.
            Reproduksi pengetahuan yang berimplikasi pada reproduksi penguasaan
            atas sumberdaya alam menurut  Bryant (1998), tercipta karena adanya
            konflik politik ekologi antara dua lapisan sosial masyarakat. Pertama,
            elit politik dan ekonomi yang memiliki kekuasaan untuk menjustifikasi
            kebijakan yang “dianggap jauh lebih baik” dan kedua, adalah kelompok
            subordinat (masyarakat lokal dan kelompok marjinal) yang berusaha
            melawan kelompok elit melalui “budaya resisten”. Proses produksi
            pengetahuan tersebut seringkali memperkuat ketidakadilan ekonomi
            dan sosial terhadap masyarakat tersubordinat.
                Sebagai akibatnya, rumah-rumah penduduk yang didirikan diatas
            tanah berstatus  KBK tidak mungkin disertifikatkan, seperti yang terjadi
            pada sebagian besar kawasan pemukiman di Desa  Muara Pantuan,
            Sepatin dan Tani Baru. Demikian halnya dengan keberadaan tambak-
            tambak yang dibangun dengan memanfaatkan  KBK di sekitar kawasan



         134                      Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
   156   157   158   159   160   161   162   163   164   165   166