Page 163 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 163

penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi. Menurut
            catatan Pemerintah Kotamadya  Samarinda yang pada saat itu wilayah
            administratifnya meliputi sebagian kawasan Delta Mahakam, setidaknya
            pada tahun anggaran 1981/1982 s/d 1985/1986 sebanyak 15.353 sertifikat
            berhasil diselesaikan melalui program  Prona. Sejumlah warga Sungai
            Perangat,  Desa Sepatin dilaporkan juga berhasil mensertifikatkan lahan
            perkebunan kelapa mereka melalui program  Prona di tahun yang sama.
            Menurut Haji Alimuddin, sertifikat tersebut diterbitkan dalam luasan
            maksimal dua hektar, sehingga bagi mereka yang memiliki kebun kelapa
            lebih dari dua hektar, terpaksa harus “memecah tanahnya” dalam
            beberapa sertifikat. Meskipun kawasan Delta Mahakam hingga saat ini
            masih berstatatus hutan produksi, menariknya sejumlah ponggawa dan
            petambak setempat juga mengaku berhasil mensertifikatkan tambak-
            tambak mereka pada kurun 1990-an. Salah seorang kepala desa di
            kawasan Delta Mahakam, bahkan mengaku mendapatkan uang yang
            cukup besar setelah mengagunkan sertifat tambaknya pada sebuah bank
            negara.
                Fakta bahwa kegiatan pertambakan sudah sedemikian meluas dan
            melibatkan ribuan penduduk, telah pula mempengaruhi cara pandang
            aparatur pemerintah daerah. Menurut  Simarmata (2008), umumnya
            aparat pemerintahan setempat menyadari bahwa secara hukum, tambak-
            tambak di kawasan hutan adalah illegal, namun secara faktual jumlah
            mereka yang sedemikian banyak dan sangat menggantungkan hidupnya
            pada usaha pertambakan, menjadikan pengusiran mereka dari kawasan
            Delta Mahakam muskil dilakukan. Tidak berlebihan jika sikap pragmatis
            yang kerap mendasari penyelesaian berbagai permasalahan secara
            instan pun menjadi pilihan yang dianggap paling realistis. Pemerintah
            daerah dengan fungsi mediatornya, cenderung bersikap ambigu ketika
            dihadapkan pada penyelesaian sengketa agraria antara masyarakat
            setempat (petambak/ponggawa) dengan pihak perusahaan migas.
            Prinsipnya berbagai kepentingan masyarakat yang bersinggungan langsung
            dengan kepentingan perusahaan migas akan diakomodasi, sebagai upaya
            meredam munculnya gejolak yang lebih besar dalam masyarakat. Entah



         136                      Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
   158   159   160   161   162   163   164   165   166   167   168