Page 168 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 168

pengurusan yang besarnya mencapai Rp. 350.000/dua Ha, seperti temuan
             Hidayati et all (2005) dan  Simarmata (2008), namun juga akumulasi
             faktor psikologis-geografis akibat rendahnya pendidikan mereka yang
             melakukan transaksi, selain keterisoliran kawasan pertambakan di Delta
             Mahakam dari pusat pemerintahan. Akibatnya mereka yang bertransaksi
             cenderung menganggap urusan administrasi pertanahan sebagai sesuatu
             yang sulit dilakukan, sehingga terkesan menganggap remeh.
                 Di dalam prakteknya pemilik/penggarap cenderung baru akan
             mengurus Surat Pernyataan Penggarapan Tanah ( SPPT) setelah terjadi
             konflik atau bila akan berlangsung jual beli dan pemberian ganti rugi
             oleh perusahaan migas. Maksimal luasan tanah untuk satu bidang yang
             bisa mendapatkan Surat Pernyataan Penggarapan Tanah ini adalah
             dua hektar. Hanya saja tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai
             batasan maksimal lembar  SPPT yang bisa dimiliki oleh seseorang, begitu
             pun dengan jangka waktu keberlakukan surat tersebut ( Simarmata,
             2008). Hal ini telah menciptakan peluang terjadinya penyalahgunaan
             atas penguasaan tanah-tanah negara, akibat ketidakpastian regulasi
             pertanahan di aras lokal. Pembatasan kepemilikan, kemudian ditafsirkan
             sedemikian rupa, oleh mereka yang bertransaksi, sebagai jalan tengah
             yang bisa “menguntungkan” kedua belah pihak, sehingga yang dimaksud
             dua hektar bukan lagi untuk setiap keluarga melainkan untuk setiap
             kepala atau setiap orang dalam satu keluarga ( Maifiansyah 2005;
               Simarmata, 2008). Sehingga muncul istilah “banyak anak banyak lokasi”,
             karena berapapun jumlah kepala dalam keluarga akan bisa dihargai dua
             hektar.
                 Ketidakpastian regulasi pertanahan memungkinkan seorang
             penggarap memiliki belasan bahkan puluhan hektar lahan hutan, hanya
             dengan meng- SPPT-kan tanah-tanah yang dikuasainya per-dua hektar,
             menggunakan nama-nama berbeda dalam keluarga, bahkan dengan
             menggandakan nama mereka sendiri. Kemungkinan tersebut menemukan
             momentumnya, ketika regulasi pertanahan yang sampai pada aparatur
             pemerintahan di aras lokal mengalami transformasi subjektif, sehingga
             ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan persepsi



             Siasat Menguras Sumberdaya Perikanan                         141
   163   164   165   166   167   168   169   170   171   172   173