Page 171 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 171
Penyerahan “konsesi” penguasaan lokasi hutan bisa pula dilberikan
pada kelompok-kelompok komunitas melalui tokoh masyarakat setempat,
seperti terungkap dalam wawancara dengan Haji Baharuddin, seorang
petambak Bugis dari Handil Terusan. Ia menuturkan bahwa izin merintis
lokasi untuk membuka tambak pada 1999 (hanyalah berupa tulisan
tangan di secarik kertas), didapatnya dari Kepala Desa Tani Baru. Ia
mengaku, mendapatkan izin garap hingga 1000 Hektar di Sungai Banjar
( Tanjung Pimping) tanpa biaya satu sen pun, setelah mengajukan
permohonan izin merintis lokasi hutan untuk kegiatan pertambakan
pada sang kades yang secara pribadi ia kenal. Tanah-tanah itu, kemudian
dibagikannya secara cuma-cuma pada sekitar 300 orang warga lokal dan
pendatang Bugis, seluas 2 – 20 Hektar/KK, dengan harapan kawasan
disekitar tambaknya menjadi semakin ramai. Ia tidak merasa menyesal
telah membagi-bagikan “konsesinya” pada sejumlah orang, meskipun
saat ini ia hanya bisa menguasai 20 Hektar tambak yang telah di SPPT-
kannya dengan biaya Rp 250.000/2 Hektar pada 2002.
Sementara di Kelurahan Muara Kembang penyerahan “konsesi”
penguasaan lokasi hutan, dilakukan otoritas lokal bersama LKMD yang
mendistribusikan hutan nipah ex. konsesi PT. Nira Kertabuana pada
masyarakat. Berdasarkan pengakuan Haji Yusuf yang juga merupakan
pelaku sejarah dituturkan, bahwa pada 1990/1991 terjadi kesepakatan
antara Perusahaan Gula Indonesia dan Pemda Propinsi Kalimantan
Timur untuk mendirikan pabrik gula PT. Nira Kertabuana. Perusahaan
ini diharapkan dapat mengeksloitasi hutan nipah di kawasan Delta
Mahakam menjadi gula nira dengan memanfaatkan tenaga transmigran
(penyadap) yang akan didatangkan dari Jawa dan lokal. Setidaknya
saat itu ororitas berwenang telah mengalokasikan lahan hutan nipah
di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam seluas 25 Ribu Hektar,
sebagai area operasi perusahaan. Namun sayangnya, karena berbagai
alasan program pemerintah tersebut akhirnya harus terhenti ditengah
jalan dan menyisakan masalah “lahan tidur”. Atas inisiatif sejumlah
tokoh masyarakat dan pemerintahan desa, tanah seluas 25 Ribu Hektar
yang seharusnya kembali menjadi hutan negara tersebut, akhirnya dibagi-
144 Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang