Page 230 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 230
lebat dan luas ini, menjadi terdegradasi dengan cepat. Tingginya angka
deforestasi mangrove berimplikasi pada permasalahan fisik, ekologi dan
lingkungan, seperti kerusakan tekstur, dan struktur tanah, erosi, abrasi,
sedimentasi, dan pencemaran air serta penurunan keanekaragaman
hayati. Degradasi ekosistem mangrove yang terjadi, selanjutnya membawa
dampak atas terjadinya penurunan produktifitas tambak. Munculnya
berbagai wabah penyakit yang menyerang udang, semakin sulitnya bibit
udang alam diperoleh. Terjadinya abrasi pantai dan sedimentasi yang
semakin meluas, serta hilangnya sumber-sumber mata air bersih.
Akumulasi keadaan tersebut, disatu sisi telah menyebabkan
perusahaan-perusahaan eksportir kesulitan memperoleh pasokan
bahan baku (udang segar), sehingga terjadi pelumpuhan produksi,
hingga memaksa mereka “angkat kaki” dari kawasan Delta Mahakam
karena kolaps. Membuka peluang terjadinya take over atas perusahaan-
perusahaan tersebut, oleh ponggawa yang sebelumnya menjadi klien
mereka. Sementera di sisi lain, keadaan tersebut berimbas pada kualitas
dan kuantitas produksi yang cenderung menurun. Menyebabkan banyak
area pertambakan terlantar, karena tidak dikelola secara baik dan
ditinggalkan pemiliknya.
Keempat, kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam akhirnya
menyisakan permasalahan pelik menyangkut status kepemilikan lahan.
Meskipun kawasan hutan mangrove yang masih berstatus KBK tersebut
telah beralih fungsi menjadi area pertambakan pribadi, namun hingga kini
area pertambakan yang berada diatas tanah-tanah negara dan mampu
menggerakkan pertumbuhan ekonomi lokal tersebut tetap dianggap
sebagai “kegiatan ekonomi ilegal” oleh otoritas pemerintahan terkait.
Akibatnya masyarakat lokal tidak memiliki hak atas tanah-tanah yang
dikelolanya, meskipun dalam kenyataannya tidak sedikit tambak diketahui
memiliki sertifikat. Sementara pemerintah tidak memiliki legalitas untuk
mendapatkan kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor
pertambakan yang diklaim ilegal tersebut. Hal ini setidaknya relevan
dengan sinyalemen de Soto (2006) yang mengungkapkan “negara-negara
selain Barat tampaknya gagal mengambil manfaat sebesar-besarnya dari
Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang 203