Page 201 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 201
Keistimewan Yogyakarta
dan biaya pengeringan yang biasanya didapatkan. Maka Peme-
rintah Pusat harus berpikir memberikan subsidi yang sesuai
atas hilangnya uang pemasukan Pemerintah DIY itu. Hal ini
jugalah yang sempat menjadi pertentangan dari dalam peme-
rintahan daerah ketika Sultan Hamengku Buwono IX sendiri
berinisiatif atas pemberlakuan itu. Tampak nyata bahwa isu
pemberlakuan UUPA 1960 ini membuka mata akan tumpang
tindih dan tidak siapnya lembaga pemerintah yang selama ini
mengelola urusan pertanahan di DIY.
Mari kita cermati, apakah idealitas tentang UUPA di atas
sebagaimana yang diimajinasikan oleh para pendiri bangsa di
awal periode kemerdekaan, dan yang divisikan oleh pemimpin
Yogyakarta sejalan dengan keinginan pemerintah pusat ketika
memberlakukan UUPA di DIY pada tahun 1984? Agaknya,
ada titik tolak yang berbeda antara pemerintah DIY (dalam
hal ini Sultan) dengan pemerintah pusat dalam memandangnya.
Sultan melihat bahwa inisiatif pemberlakuan itu adalah lanjutan
visi dan komitmennya dalam mengintegrasikan diri ke dalam
Republik Indonesia, selain tentu saja persoalan kesejahteraan
rakyat yang sebenarnya telah terakomodir melalui bentuk
penguasaan tanah oleh rakyatnya melalui magersari, tanah kas
desa, dan bentuk hak tradisional lainnya. Mengakhiri dualisme
pengelolaan tanah yang sering membingungkan di wilayahnya,
adalah salah satu yang ingin ditempuh.
Sementara pemerintah pusat memandangnya sebagai
kehendak untuk ‘menyentralisir’ peraturan keagrariaan ke
dalam ‘hukum pertanahan nasional’, yang dalam hal ini adalah
UUPA, kedalam konteks ‘kontinyuitas jalannya pemba-
ngunan’. Cukup aneh sebenarnya, UUPA (di)muncul(kan)
kembali setelah sebelumnya terstigmatisasi sebagai program
178