Page 234 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 234

Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya

               tang putra daerah dapat memperlemah integrasi sosial yang
               telah terbangun lama. Oleh karena itu penguatan kembali
               kelembagaan sosial dan perhatian pada aspek keadilan sosial
               dan ekonomi menjadi dasar untuk menetralisir menguatnya
               identitas primordial. Integrasi nasional pada masyarakat ma-
               jemuk yang segregatif berpusat pada lembaga-lembaga pendi-
               dikan, agama dan sosial, sekolah, masjid, gereja, puskesmas,
               balai petemuan, lapangan olahraga dan tempat rekreasi  harus
               ditempatkan secara seimbang sehingga dapat berfungsi seba-
                                 15
               gai faktor integratif.  Sebuah faktor fundamental bagi terwu-
               judnya masyarakat multikultural.
                   Perekatan identitas tidak hanya terjadi dalam batasan
               kelas ekonomi, etnis, dan keaslian tempat kelahiran. Namun
               sekarang ini di Yogyakarta yang mengklaim diri sebagai daerah
               yang memiliki modal toleransi tinggi dalam kehidupan sosial-
               nya, menyimpan benih-benih intoleransi yang nyata.  Intole-
                                                             16
               ransi itu misalnya tampak pada segregasi sosial yang didasar-
               kan pada sentimen keagamaan. Banyak orang atau mahasiswa
               zaman dulu di era tahun ’70-’80-an merasa penerimaan ma-
               syarakat terhadap perbedaan begitu tinggi. Sehingga antara
               mereka yang datang dan penduduk terjalin suatu hubungan




               15  Usman Pelly, op.cit., hlm. 427.
               16  Dalam perebutan ruang yang diakibatkan dari menjamurnya ‘praktik legal’
                per-parkiran di kota Yogyakarta,  muncul sentimen-sentimen yang
                mengatasnamakan lokalitas dan antar-enerasi, misalnya dengan menyebut
                diri ‘Aku Cah Kene’ (ACK) dan ‘Aku Cah Lawas’ (ACL). Istilah-istilah ini muncul
                belakangan dan berbeda dengan gangs-gangs yang ada di tahun 80-90-an
                akhir (Gemax, Joxin, dll). Berbasis pada identitas daerah tertentu, mereka
                ini lebih berafiliasi politik, sementara yang sekarang ada muncul sebab
                perebutan-perebutan ruang (ekonomi).

                                                                  211
   229   230   231   232   233   234   235   236   237   238   239