Page 239 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 239

Keistimewan Yogyakarta
            peraturan tentang resosialisasi wanita tuna susila, anak jalanan,
            dan gelandangan. Tetapi seberapa efektif semua peraturan itu
            dijalankan sampai sekarang sulit diukur keberhasilannya.
                Seperti halnya kaum gelandangan dan orang-orang
            grassroot lainya, mereka yang terlibat di dunia pelacuran dan
            aktivitas pelacuran itu adalah residu dari perkembangan kota,
            minimnya kesempatan kerja, pembangunan ekonomi yang
            tidak merata, dan ketidakmampuan pemerintah menata
            kehidupan masyarakat. Sebagian besar perempuan yang terli-
            bat di Sarkem didorong oleh persoalan ekonomi (sekitar
            70.5%) pada tahun 1997. Masuknya modal, pembangunan
            yang terpusat, dan persoalan hidup yang makin sulit di desa-
            desa penyangga kota Yogyakarta berpengaruh besar terhadap
            meningkatnya praktek pelacuran. Pergeseran nilai, melemah-
            nya kolektivitas, menguatnya individualitas, menciptakan
                                                          21
            strategi hidup tertentu dari kelompok marjinal ini.  Mereka
            tidak memiliki modal, kecakapan, tingkat pendidikan yang
            memadai, digerus oleh perkembangan kota yang kejam di mana
            prinsip pengaturan dan syarat survival bagi seseorang dilan-


             18 tahun 1954 tentang pelarangan “Pelatjuran di Tempat-tempat Umum”.
             Tanggal 2 Juni 1956 dikeluarkan Perda No. 7/1956 tentang perubahan Perda
             No. 18/1954 tentang larangan “Pelatjuran di Tempat Umum”. Sedangkan
             peraturan tentang resosialisasi wanita tuna susila dikeluarkan SK kepala
             daerah No. 166/K.D./1974 tertanggal 20 Nopemeber 1974. Lihat Mudjiono,
             op.cit., hlm.27—31.
            21  Sejak prinsip-prinsip ekonomi menguasai kehidupan ekonomi masyarakat
             Jawa, sebenarnya telah terjadi pola-pola pertukaran sosial baru yang
             memunculkan kode moral tertentu dalam tingkah laku anggota masya-
             rakatnya. Pertukaran sosial itu terjadi karena eksistensi diri  terlepas dari
             pertukaran sosial itu dimana moralitas baru ini mempengaruhi hubungan
             pribadi baik dalam kerangka ekonomi, sosial, politik, ataupun budaya. Lihat
             Ryadi Goenawan & Darto Harnoko, op.cit.,  hlm.40-45

            216
   234   235   236   237   238   239   240   241   242   243   244