Page 247 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 247

Keistimewan Yogyakarta
            semakin baik di kalangan anak mudanya perlahan-lahan meru-
            bah kampung ini menjadi lebih baik. Karanganyar kini tidak
            lagi dianggap sebagai kampungnya para gali dan preman. 32
            Tetapi kini batas-batas identitas itu mulai mengabur seiring
            dengan hadirnya teknologi dan alat transportasi baru, produk,
            mode konsumsi baru, percepatan kapital, dan infrastruktur
            yang menopang fasilitas hidup di kota. Di samping itu referensi
            nilai sebagi code of conduct masyarakat sedang bergeser ke
            arah lain. Berkaitan dengan RUUK dan wacana keistimewaan
            Yogyakarta, tampaknya hal ini merupakan upaya untuk men-
            jaga dan memegangi nilai dan budaya masa lalu namun di
            tengah situasi yang bergerak dan berubah dengan cepat men-
            jadi sesuatu yang patut di pertanyakan efektivitasnya. Maka
            tidak heran bila semua orang mencari-cari sesuatu yang dapat
            disebut sebagai subtansi keistimewaan Yogyakarta. Sayang-
            nya semua itu ditemukan di masa lalu tetapi tidak di masa kini.
            Rujukan nilai, interaksi sosial, praktik kehidupan sosial komu-
            nitas di kampung-kampung tersebut sedang berubah. Trans-
            formasi itu ternyata tidak didorong oleh apa yang disebutkan
            dalam aspek keistimewaan tetapi lebih dikendalikan oleh mode
            baru dalam pengaturan hidup dan sistem interaksi sosial baru.
                Kehidupan sehari-hari yang menjadi basis dalam pem-
            bentukan image telah didikte oleh pasar dan institusi terkait.
            Keraton dalam banyak kasus tampaknya telah kehilangan
            pengaruh dalam masyarakat karena tidak berfungsi sekuat
            dulu dalam konstruksi  praktik kehidupan. Karena Yogyakarta
            sedang bergerak ke arah kota besar, sebab itu bagi mereka

            32  Ibid., hlm.115-118
            33  Emha Ainun Najib, “Antara Tiga Kota”, dalam Yogya Indonesia Pulang-Pergi,
             Yogyakarta: Zaituna, 1999).

            224
   242   243   244   245   246   247   248   249   250   251   252