Page 251 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 251

Keistimewan Yogyakarta
                                      36
            waan Yogyakarta secara kritis.  Bahkan penyair kondang Yog-
            yakarta, Rendra, melihat Yogyakarta seperti ‘kasur tua’.  Me-
                                                             37
            reka yang dulu pernah dibesarkan oleh Jogja kini tak lagi mene-
            mukan keheningan spiritual. Kota ini menjadi bising akibat
            infrastruktur yang dibangun lebih untuk menunjang penyaluran
            produk-produk dari perputaran modal asing. Infrastruktur itu
            bukan untuk menghidupkan desa tetapi menyediakan
            beroperasinya kapital yang membawa cara hidup baru. Pari-
            wisata yang dibangun ternyata juga lebih banyak dinikmati oleh
            industi transportasi, industri penginapan, dan sedikit sekali
            keuntungan turisme yang langsung sampai ke tangan rakyat.



            E. Subyek yang Tercecer dari Konstruksi

            Sebuah citra dibentuk untuk berbagai tujuan dan kepentingan
            yang diarahkan demi dikenalinya “diri” dalam sudut pandang
            yang positif. Perencanaan pembangunan daerah yang
            memakai teknik-teknik pemasaran mendorong berbagai



             saat ini. Jika melihat berbagai pemberitaan di media massa tentang
             perdebatan tersebut tampak masih banyak kelompok yang dominan
             berkeinginan mempertahankan status ini. Karena atmosfir kepekatan
             budayanya masih dirasakan begitu kuat, memberi rasa nyaman, dan sumber
             inspirasi. Hal ini terlihat pada dekade ’90-an dan dekade-dekade sebelum-
             nya ketika modal, nilai, dan gempuran budaya baru belum menggurita se-
             perti sekarang ini.
            37  Metafora Rendra untuk menggambarkan kondisi dan situasi keterlelapan
             pada pelukan kota Yogyakarta yang masih kental nuansa spiritualnya, tetapi
             ketika bangun dan tersadar orang merasa seperti di dunia baru dan tahu
             bahwa yang didiaminya bukan lagi kasur tua. Rendra juga meragukan jika
             Yogyakarta disebut sebagai pusat kebudayaan. Karena di tempat lain masih
             banyak pusat kebudayaan yang tidak kalah menariknya. Lihat ‘Cerita Tiga
             Kota’, Prisma, no.6. Juni 1980, Tahun VIII. hlm. 47-49

            228
   246   247   248   249   250   251   252   253   254   255   256