Page 252 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 252
Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya
pihak/pengambil kebijakan untuk menjalankan prosedur-
prosedurnya. Yogyakarta membangun citra-citra positif itu
dalam slogan-slogan pariwisata seperti ‘Jogja Never Ending
Asia’, ‘Kota Pendidikan’, ‘Kota Budaya’ dan sebagainya. Tidak
ada yang salah pada upaya yang dilakukan untuk membangun
daerah melalui cara seperti itu. Tulisan ini juga tidak memba-
has slogan-slogan tersebut. Lebih dari itu, dalam kepentingan
untuk melihat apa yang ‘terbuang’ dari konstruksi keistime-
waan perlu untuk membicarakan subyek-subyek lain. Karena
bagaimanapun keistimewaan sekarang ini tidak lagi dapat dili-
hat sebagai sebuah konstruksi budaya tetapi lebih tampak
sebagai konstruksi yang sarat kepentingan politik. Dari hasil
yang dapat kita baca tampak bahwa dimensi-dimensi lain tak
termaktub dalam konstruksi yang dibangun oleh tim dari UGM
itu. Memunculkan dimensi lain penting artinya guna meng-
imbangi dan mengakui kenyataan lain yang bahkan mungkin
akan mengurangi bobot istimewanya.
Salah satu dari realitas itu adalah kekerasan dan ketidak-
teraturan sosial yang terjadi sejak dekade ’70-an dan jauh
sebelum itu. Sebuah kenyataan yang menunjukkan latensi per-
soalan kultural dan struktural sekaligus membuka mata bahwa
Yogyakarta tak semanis seperti yang dilukiskan dalam kons-
truksi keistimewaannya. Kekerasan dan ketidakteraturan yang
muncul dalam momen-momen tertentu di masa Orde Baru
bahkan bisa sangat ekstrim. Kelewang, golok, sangkur, dan
jenis senjata mematikan lainnya dibawa para peserta pemilu,
sesuatu yang tidak akan terjadi jika masyarakatnya tidak
menyimpan nilai-nilai kekerasan dan keinginan mewujudkan
kekerasan. Semua peserta kampanye seperti merasa terancam
pihak lain yang sewaktu-waktu datang menyerang mereka. Di
229