Page 250 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 250
Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya
sah. Mau nyeberang jalan khawatir diseruduk kendaraan. Mau
makan di lesehan trauma ‘dipalak’. Mau belanja orang ramai
berjubel di segala penjuru’. Sejak tahun ’80-an sudah terjadi
35
jual beli trotoar di Malioboro. Dengan berlangsungnya tran-
saksi ruang, Malioboro kini tidak lebih sebagai ruang privat.
Perubahan itu memunculkan segregasi sosial baik antara pemi-
lik malioboro dengan pengunjung maupun dengan warga seki-
tarnya. Prinsip pengaturan sosial telah berubah menjadi prin-
sip pengaturan ekonomi. Ruang yang semula sebagai tempat
netral yang bisa dimasuki oleh siapa saja berubah menjadi
ruang privat yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Ruang di
Malioboro tidak lagi dilihat sebagai arena publik tetapi sudah
sebagai sumber daya ekonomi. Fenomena perebutan lahan
parkir menjadi kasus nyata bagaimana masyarakat mulai meli-
hat ruang budaya sebagai sumber ekonomi. Kenyataan ini
tentu saja mengganggu kenyamanan dan ketertiban.
Dengan demikian apabila melihat realitas empiris dalam
dunia keseharian masyarakat apalagi di pusat-pusat perbe-
lanjaan, konstruksi keistimewaan Yogyakarta sulit untuk
dapat ditemukan sambungannya. Konstruksi keistimewaan
adalah sesuatu yang lain, dan kehidupan keseharian masya-
rakat adalah sesuatu yang lain lagi. Pertanyaan yang perlu
dimunculkan adalah keistimewaan itu sebenarnya untuk apa
dan dikonstruksi oleh/untuk siapa? Kenyataan yang menam-
pak nyata inilah yang mungkin menjadi salah satu alasan bagi
makin banyaknya pihak yang memperbincangkan keistime-
35 Cholis Aunurrohman, Malioboro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm.
22—56.
36 Ketika HB IX masih hidup dan masa-masa ketika PA VIII masih memimpin
Yogyakarta, perdebatan tentang keistimewaan Yogyakarta tidak seramai
227