Page 253 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 253

Keistimewan Yogyakarta
            tahun ’70-an sentimen anti pendatang  sabrang terjadi
            melibatkan tukang becak dan penduduk lokal, perkelahian
            antar kampung yang kerap terjadi pada dekade ’80-an, penem-
            bakan terhadap para gali (1980-an), kekerasan antar geng
            ABG tahun (1990-an).
                Bambang Purwanto (2005) menunjukkan adanya keke-
            rasan, perompakan, dan kriminalitas, yang terjadi di Kota
            Gede pada dekade pertama abad ke-20. Kekerasan yang terus
            meningkat akibat warganya yang mulai kehilangan solidaritas
            sosial, kesabaran, dan tidak terkontrol. Kekerasan ini lebih
            banyak dipicu oleh situasi sosial, ekonomi, politik, yang beru-
            bah cepat. Hingga sekarang, berbagai studi, dan pemberitaan
            media semakin banyak mengungkap adanya praktik-praktik
            kekerasan yang terus terjadi setiap tahun dengan frekuensi
            yang meningkat. 38
                Kekerasan struktural juga terjadi di kota yang dilakukan
            oleh pemerintah sendiri. Dengan dalih penataan kota, keter-
            tiban, dan kebersihan pemerintah daerah menggusur warga
            dan PKL yang mencari hidup di celah-celah kehidupan kota
            yang semakin sempit. Bagi mereka tidak lagi penting apakah
            Yogyakarta akan menjadi daerah istimewa atau tidak, yang
            penting bagaimana kota ini memberi ruang hidup dan kesem-
            patan untuk mencari nafkah. Yogyakarta akan menjadi istime-
            wa ketika mampu memberikan kepada wong cilik kesempatan,
            merawat kaum terpinggirkan, dan melindungi kelompok-ke-
            lompok yang tersingkir dari arena kontestasi perputaran mo-



            38  Selengkapnya lihat Bambang Purwanto, “Kekerasan dan Kriminalitas di Kota
             pada saat Transisi: Kota Gede, Yogyakarta Pada Awal Kemerdekaan”,  dalam
             Freek Colombijn, dkk., op.cit., hlm. 211—224.

            230
   248   249   250   251   252   253   254   255   256   257   258