Page 255 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 255

Keistimewan Yogyakarta
            kankan pada aspek politik yang dilegitimasi dengan jasa dan
            pengorbanan sejarah yang harus dibayar oleh pemerintah
            pusat. Konstruksi keistimewaan Yogyakarta seharusnya be-
            rangkat dari pemahaman yang mendalam atas masalah-masa-
            lah nyata baik struktural maupun yang bersifat keseharian
            yang berkaitan dengan isu ketimpangan, ketidakadilan, dan
            cita-cita kesejahteraan rakyat. Dengan demikian ‘Tahta Untuk
            Rakyat’ benar-benar menemukan aktualisasinya dan menyen-
            tuh langsung ke dalam kehidupan rakyat. Keistimewaan itu
            akan benar-benar bermakna dan patut menjadi referensi jika
            semua komponen di Yogyakarta mampu menghilangkan ke-
            miskinan rakyatnya dalam arti luas, taraf hidup meningkat, tidak
            ada pengemis, tidak ada petani yang tidak punya tanah garapan,
            sumber daya alam yang tertata baik, pariwisata laut dikem-
            bangkan, pendidikan murah, kesehatan murah, biaya hidup
            murah, tidak ada anak jalanan, tidak ada pelanggaran HAM.
                Seharusnya keistimewaan sebagai kontrak sosial dan
            kontral politik berakar dan berada dalam kerangka ini. Proses-
            nya juga harus jelas sampai ke tingkatan yang paling kecil
            dalam struktur sosial yaitu masyarakat desa. Dengan demikian,
            Yogyakarta tidak hanya istimewa di mata rakyatnya tetapi juga
            istimewa di hadapan Tuhan. Persis seperti daerah yang digam-
            barkan dalam al-Qur’an baldatun thoyyibatun wa rabbun
            ghafur. Jika memang Yogyakarta masih mendaku diri sebagai
            ‘Mataram Islam’, maka utopia ini menjadi tugas sejarah yang
            terus-menerus ditunaikan. Bila Yogyakarta adalah suatu ‘ne-
            geri merdiko’, maka mitos sebagai ‘negara budiman’ harus
            senantiasa dihidup-hidupkan.
                Berkaitan dengan itu, dalam sebuah tulisanya di Jawa
            Pos Radar Jogja, 2 Agustus 2002, budayawan kondang seka-

            232
   250   251   252   253   254   255   256   257   258   259   260