Page 44 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 44

Pendahuluan

               dianya infrastruktur pendukung memungkinkan daerah ini
               mengalami percepatan informasi yang tinggi dibandingkan
               daerah-daerah lain. Beragam jenis sekolah yang ada juga men-
               jadi faktor yang meluaskan ide-ide dan kecenderungan-kecen-
               derungan baru. Keberadaan sekolah-sekolah di Yogyakarta
               melahirkan bentuk perkembangan baru yang sangat penting
               dalam membangun semangat nasionalisme; ide-ide, pergera-
               kan nasional, dan pers.
                   Perkembangan ide-ide pembaruan di Yogyakarta menun-
               jukkan dinamika yang kuat dalam keinginan besar untuk meru-
               bah sistem sosial yang saat itu dikendalikan orang-orang asing.
               Eksponen-eksponen dari Kesultanan dan Pakualaman juga
               terlibat dalam dinamika tersebut. Tokoh-tokoh pembaru da-
               lam bidang pendidikan dan juga pergerakan nasional awal
               dipimpin eksponen-eksponen dari dua kekuasaan tradisional
               itu; P.A. Soerjomataram, P. Mangkoekoesoemo, P. Notopro-
               djo, P. Notodirodjo. 8
                   Kota yang mulai berubah melahirkan golongan penduduk
               yang memiliki dan mengembangkan gagasan untuk perbaikan
               kedudukan sosial, mengaitkannya dengan gerakan-gerakan
               protes, membentuk perkumpulan sosial politik menuju kema-
               juan dan mendapatkan kedudukan politik dalam situasi
               kolonial. Kesadaran kesamaan derajat sebagai embrio nasio-
               nalisme mulai tumbuh bersamaan dengan cita-cita kemajuan
               yang bermula dari kaum bangsawan. Pada masa awal perge-
               rakan nasional pencarian jati diri menjadi aspek yang paling
               menonjol dalam tubuh perkumpulan-perkumpulan. Hal ini


               8  Abdulrachman Surjomihardjo Yogyakarta Tempoe Doeloe, Sejarah Sosial 1880-
                1930 (Yogyakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 43

                                                                   21
   39   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49