Page 46 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 46
Pendahuluan
memajukan kehidupan rakyatnya. Pertama, mencari jalan un-
tuk benar-benar mengenal rakyat dalam semua aspek kehi-
dupannya yang nyata. Kedua, menemukan sistem agar penge-
tahuan tentang kehidupan rakyat itu dapat dipergunakan
untuk kepentingan rakyat, meskipun tujuan itu tidak disetujui
oleh pemerintah Belanda yang berkuasa di Yogyakarta.
Kesadaran politik yang demokratis ini tidak didapatnya
di Universitas Leiden, melainkan dari pengamatannya terha-
dap kehidupan masyarakat dan pemerintahan Belanda saat
itu. Meskipun negara Belanda merupakan kerajaan tetapi sis-
tem pemerintahan di negeri itu dinilainya sangat demokratis.
Sesuatu yang berlainan ia jumpai di pemerintah kolonial Hin-
dia Belanda. Kebebasan politik, ekonomi, dan sosial, semuanya
dijamin dalam undang-undang. Tentu saja kebebasan itu harus
tunduk pada aturan perundang-undangan yang dibentuk dan
disepakati secara demokratis. Tetapi kendala yang dihadapi-
nya jika sistem semacam itu diterapkan di Yogyakarta adalah
keberadaan Belanda sendiri di Yogyakarta dengan sistem
kolonialnya yang menghalangi sistem demokrasi untuk rak-
yat. 11
Jelas bahwa kesadaran perubahan untuk lepas dari
11 Di akhir tulisanya Selo Sumardjan mengatakan, ‘Tampaknya semua langkah
yang diambil Sri Sultan untuk menerapkan sistem demokrasi pemerintahan
dan melepaskan diri dari kekuasaan kolonial Belanda dan kemudian dari
pendudukan Jepang merupakan persiapan (yang tidak disengaja) untuk
menyambut Proklamasi Kemerdekaan dan berdirinya RI yang berdaulat.
Dengan latar belakang ini Sri Sultan sudah siap menyatakan dengan
kemauannya sendiri bahwa daerah Kesultanan Yogyakarta adalah bagian
dari Republik Indonesia…’. Selo Soemardjan, “Kolonialisme, Feodalime,
Demokrasi” dalam Tim Maula, dkk., Jika Rakyat Berkuasa, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1999), hlm. 107-112
23