Page 173 - Mereka yang Dikalahkan, Perampasan Tanah dan Resistensi Masyarakat Pulau Padang
P. 173
148 M. Nazir Salim
Lebih kurang dua minggu sejak tim dibentuk, Andiko sebagai
pimpinan Tim Mediasi melaporkan perkembangan tentang temuan-
temuan data di lapangan dari berbagai pihak. Secara gamblang
menjelaskan duduk persoalan tentang studi-studi sebelumnya dari
para ahli terkait Pulau Padang dan pandangan masyarakat yang
terpecah baik pihak yang mendukung dan menolak kehadiran
RAPP, juga pandangan dari pihak perusahaan. Akhir Januari ketika
laporan secara utuh disampaikan muncullah rekomendasi di atas,
antara revisi dan mencabut SK 327/2009. Namun Kementerian
Kehutanan lebih memilih merevisi, tentu saja pilihan itu yang
dianggap paling aman karena bisa menghindar dari gugatan pihak
perusahaan. Pilihan revisi disayangkan oleh warga Pulau Padang
karena tidak diikuti dengan rekomendasi lanjutan oleh Tim Mediasi,
yakni: 1. Review independen perizinan dan pelaksanaan perizinan
(melibatkan bagian hukum Dephut, Dirjen BUK, dan NGO); 2.
Review kerentanan dampak lingkungan terhadap Pulau Padang yang
dilakukan tim independen (ahli, LSM, masyarakat); 3. Melanjutkan
mediasi dengan masyarakat. Tiga usulan itu tidak pernah dikerjakan
secara langusung oleh Kementerian Kehutanan sekalipun pilihan
akhirnya revisi SK 327/2009.
Banyak hal dalam laporan itu sebagai temuan yang menarik,
namun banyak pula yang diabaikan, salah satu yang paling penting
dari temuan lapangan adalah Pulau Padang masuk pulau kecil (UU
Nomor 27 tahun 2007) dan hutan gambut berkedalaman lebih dari 3
meter yang harus dilindungi (Kepres No. 32 Tahun 1990). Kehadiran
RAPP yang mengeksploitasi secara luas mengancam ekosistem hutan
dan sumber penghidupan masyarakat sekitar serta menurunnya
pulau secara pasti akibat interusi air, walau hal itu dibantah oleh
Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau (SK.736/Menhut-II/2011
tanggal 27 Desember 2011), https://www.lapor.go.id/home/download/
InfoLampiran/28.