Page 115 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 115
76 Orang Indonesia dan Tanahnya
bezitters te kwader trouw (pemilik-pemilik yang tidak sah),
namun jika mereka tidak dapat mengajukan bukti-bukti, dengan
seenaknya saja tanah itu dimasukan sebagai eigendom negara.
Hak-hak yang tidak sesuai dengan pengertian Barat atau tidak
dianggap sebagai hak-hak kelas dua (tweederangsrechtrechten),
pemerintah tidak bersedia mengakuinya. Dalam masa empat
puluh lima tahun sampai saat ini, kesempatan yang diberikan
oleh pasal 71 onteigeningsverordening (peraturan tentang
Pencabutan Hak Milik) untuk meneliti hak-hak semacam itu,
sekali saja belum pernah dilaksanakan.
Lain halnya dengan seorang pemburu binatang liar yang
melakukannya secara tidak sah, maka seorang yang dianggap
membuka tanah secara tidak sah tidaklah diakui sebagai orang
yang berhak atas tanah yang dibuka itu (karena ia melanggar
domein negeri). Demikian sejak Daendels dan Raffles berbicara
tentang domein negeri, kepala-kepala pribumi tidak lagi
mempunyai hak atas kerja pertuanan, dan sebagainya.
Akan tetapi dari semua “debet” yang sudah kita paparkan
diatas, sekarang kita tinjau pula “kredit”nya. Ditinjau dari sisi ini,
pernyataan domein ini pun ternyata gagal; ia tidak memberikan
daya guna sedikit pun. Karena sesungguhnya, teori domein
tersebut, yang menganggap semua tanah-tanah pertanian
sebagai suatu aktiva yang menjadi milik badan hukum Hindia
Belanda adalah merupakan sebuah teori yang sudah tua.
Pertanyaan yang akan muncul, apakah dalam membuat
peraturan-peraturan mengenai soal-soal tanah tersebut,
benar-benar harus digunakan sebuah fiksi yang sudah layu dan
lusuh sebagai oppereigendom (eigendom dasar) ini? Apakah
sungguh-sungguh harus diciptakan pernyataan domein terlebih
dahulu jika pemerintah hendak mengatur pembagian air guna
kepentingan pertanian? Apakah pemerintah tidak mampu