Page 116 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 116
C. Van Vollenhoven 77
membuat peraturan-peraturan tentang tanah-tanah eigendom
Timur, tentang tanah-tanah partikelir (particuliere landerijen—
asal saja kontrak-kontrak yang menjadi dasar munculnya tanah-
tanah partikelir ini dihormati), tentang tanah-tanah dengan
eigendom agraris dan sebagainya, jika tanah-tanah tersebut
bukan “milik” negeri? Apakah tanpa pernyataan domein,
pemerintah tidak dapat mengeluarkan dekrit yang menyatakan
bahwa setiap tukar menukar tanah desa membutuhkan
persetujuannya? Apakah dengan tidak adanya suatu pernyataan
domein, pemerintah tidak dapat pula mengeluarkan dekrit yang
menetapkan bahwa jika seorang Indonesia hendak menyerahkan
milik tanahnya, misalnya disebabkan karena ada seorang Arab
yang membutuhkan eigendom tanah, maka pemerintahlah yang
akan bertindak selaku perantara dan akan menjaga agar terdapat
suatu kepantasan menurut hukum Barat?
Jika kita melihat pada sebuah peraturan yang mengatur
keadaan semacam itu, yaitu peraturan yang mengatur eigendom
agraris dari tahun 1872, dapat kita lihat bahwa pemerintah dapat
bertindak sebagai perantara dengan tidak perlu melandaskan
tindakannya itu kepada suatu hak eigendom negeri. Juga
sebuah ketetapan dari tahun 1898 untuk daerah Surakarta,
demikian pula peraturan dari tahun 1915 bagi seluruh daerah-
daerah swapraja, dengan jelas memperlihatkan bahwa untuk
menjamin suatu titel hukum Barat yang patut, pemerintah tidak
perlu melandaskan tindakan legislatifnya itu kepada suatu hak
eigendom negeri. Maka dengan tidak adanya suatu pernyataan
domein, tidak dapat pulakah pemerintah memberikan suatu
titel eigendom Barat kepada seorang pemerintah pribumi yang
memiliki sebidang tanah yang sempit di satu kota besar, sama
halnya jika pemerintah menetapkan seorang bangsa Eropa
menjadi eigenaar dari sebidang tanah kosong yang tidak begitu
luas? Bukankah kita hanya akan menjadi budak kita sendiri, jika