Page 122 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 122
C. Van Vollenhoven 83
gebruikt.....van....wei of woeste gronden’ (Hak-hak pakai....dari
desa....atas....tanah-tanah penggembalaan dan tanah-tanah
yang tidak dibudidayakan).” Semua tanah yang masuk dalam
beschikingskring semacam itu, dinyatakan tidak dapat diberikan
dengan sewa kepada orang-orang Eropa.
Namun apakah ketentuan itu sudah pantas dipandang dari
sudut pemikiran yang sehat dan tepat? Belum sama sekali.
Ketentuan ini meleset jauh dari sasarannya. Sebab sesungguhnya
tidaklah perlu dan tidak pula berguna untuk secara singkat
melarang pemberian tanah yang terdapat di dalam wilayah
ulayat dari desa, juga merupakan perbuatan yang salah untuk
bertindak sedemikian itu di daerah-daerah seperti Jawa
Tengah dan Sumatera Barat, dimana tidak ada sebidang tanah
pun yang berada diluar hak ulayat sebuah desa. Tetapi sudah
cukup jika kita memberikan suatu jaminan bahwa tanah-tanah
semacam itu tidak akan diberikan kecuali dengan menghormati
secara penuh (met volle eerbiediging) hak ulayat dari desa itu.
Bagaimana pun juga tujuan akan memperlakukan bangsa
Indonesia secara jujur dalam peraturan tersebut adalah sangat
jelas; dan praktis selama ini tidak lagi menimbulkan keberatan,
karena pemberian secara sewa atau pacht itu tidak lagi banyak
terjadi, sebab sudah tidak sesuai dengan jaman.
Pernahkah ada yang bereaksi untuk menentang asas yang
penting dari tahun 1854 ini, baik dalam bentuk undang-undang
maupun dalam bentuk sebuah mosi parlemen?
Sama sekali tidak pernah. Bahkan secara terang-terangan
mereka mendukung asas ini. Pada bulan Juni 1837, di dalam
rancangan undang-undang mengenai erpah (erfpacht)
dari Takranen—saat itu Baud telah meninggal dunia—
telah berlangsung perdebatan mengenai hak buka tanah
(ontginningsrecht) dari orang-orang Indonesia. Apabila seorang