Page 123 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 123
84 Orang Indonesia dan Tanahnya
Belanda di Veluwe, Noord Brabant atau Drenthe tidak dapat
membuka tanah begitu saja dengan tidak adanya izin dari
pemilik tanah (grondeigenaar, baik individu maupun badan
hukum), maka di Indonesia setiap penduduk desa atau seorang
anggota suku mempunyai hak yang hakiki, untuk membuka
tanah yang ada dalam lingkungan wilayah ulayat suatu desa;
gabungan desa atau pun suatu suku (stam); didalam lingkungan
wilayah ulayat desa lain, maka mereka kehilangan hak tersebut,
karena dalam hal ini mereka harus minta izin terlebih dahulu
dari desa atau suku yang menguasai wilayah tersebut dengan
suatu bayaran rekognisi, juga didalam daerah-daerah perbatasan
yang tidak bertuan, mereka hanya dapat membuka tanah,
selama tidak ada kekuasaan yang berhak untuk melarangnya.
Namun saat ini, oleh menteri Takranen, lembaga buka tanah
yang sangat penting keberadaannya bagi warga Indonesia itu
hendak dihancurkan dengan jalan mengacaukan pengertiannya,
yaitu: bahwa didalam rancangannya ia tidak dapat membedakan
antara buka tanah di dalam wilayah desa sendiri, di dalam
wilayah desa lain dan di dalam wilayah yang tidak bertuan
(niemandskring), karena semua buka tanah secara singkat harus
menurut pada peraturan pemerintah.
Secara mengejutkan, seperti belum pernah terbaca dalam
laporan-laporan para birokrat, semua pihak bersatu menentang
tindakan pemerintah dalam debat yang penting ini, pemerintah
yang telah mengakui adanya wilayah-wilayah kekuasaan dari
masyarakat hukum adat. Thorbecke, Rochusen, F. Van de Putte,
De Brauw, semuanya sependirian menentang usaha tersebut.
Ahli-ahli hukum seperti Godefroi dan Pijnappel mendukung
menteri yang bersangkutan, namun amandemen dari Thorbecke
yang hendak menyelamatkan hak buka tanah di dalam wilayah
desa sendiri, diterima dengan 44 versus 13 suara. Amandemen
kedua dari Thorbecke mengandung usul agar dalam soal