Page 127 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 127
88 Orang Indonesia dan Tanahnya
Apakah dengan tindakan tersebut tuan-tuan birokrat tidak
membuat kekhilafan yang besar? Sekali lagi tidak. Pada tahun
1872 secara serampangan diajukan alasan sebagai berikut: bahwa
yang disebut regten der bevolking, yaitu hak-hak dari penduduk
seperti yang dimaksud oleh pasal 62 Regeringsreglement,
tidaklah boleh ditafsirkan sebagai hak-hak yang sifatnya
souverein (berdaulat), oleh karena souvereiniteit (kedaulatan)
dari pemerintah Belanda tidak boleh dikurangi; maka ia
hanyalah merupakan hak-hak privat dari penduduk yang
muncul dari pembukaan tanah, dari pemakaian dan sebagainya.
Jadi apabila undang-undang sendiri melindungi semua hak-
hak dari penduduk, bahkan perumusan dari Baud dengan
nyata-nyata melindungi hak ulayat atas tanah, maka para para
birokratkrat hanya suka melindungi hak-hak yang dapat masuk
kedalam pengertiannya, yaitu yang menurut anggapannya
bukan merupakan hak yang dibuat-buat, sedangkan hak lainnya
dianggap sebagai “tuntutan imajiner,” sebagai hak-hak yang
“hanya ada dalam gambaran penduduk itu sendiri atau pun
kepala-kepalanya.”
Pada tahun 1867, usulan Keuchenius yang sifatnya sejajar
dengan itu telah ditolak oleh Tweede Kamer dengan 53 suara
lawan 4. Meskipun demikian para birokrat tetap menempuh
jalannya yang menyimpang itu. Memang benar bahwa sejak
tahun 1874 sebuah peraturan (verordening) untuk Sumatera
dan sejak tahun 1891 sebuah instruksi untuk permintaan-
permintaan erpah (erfpachtsaanvragen) di luar pulau Jawa
telah memerintahkan kepada pegawai-pegawai pemerintah
supaya pegawai-pegawai tersebut menginformasikan dan
sedapat mungkin bekerjasama dengan kepala-kepala rakyat,
juga departemen dalam negeri banyak melakukan cara-cara
pelaksanaan yang tepat mengenai hal itu. Namun suatu
pengakuan yang bulat akan adanya hak ulayat yang secara