Page 131 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 131

92      Orang Indonesia dan Tanahnya

               Namun dipandang dari sudut pandang moral, maka apa
            yang telah terjadi dengan kondisi tanah-tanah yang tidak
            dibudidayakan di pulau Jawa adalah jauh lebih berat.
               Proklamasi dari Sloet van de Beele pada tahun 1866 telah
            menjanjikan perlindungan atas hak-hak dari penduduk.
            Undang-undang 1870 mengulangi janji itu untuk tanah-tanah
            yang tidak dibudidayakan. Agrarisch Besluit 1870 memahat
            jaminan itu dalam bentuk pasal-pasal. Pasal-pasal yang
            sebagiannya mengatur pembukaan tanah oleh orang-orang
            Indonesia dan sebagian lagi mengatur pemberian tanah pada
            orang-orang Eropa.
               Jika sekarang orang mau melaksanakan pasal-pasal dari
            Agrarisch Besluit 1870 tersebut untuk mengatur pembukaan
            tanah oleh orang-orang Indonesia di pulau Jawa dan Madura,
            maka segala keburukan itu tidak akan terjadi. Untuk tanah-
            tanah yang tidak ada pemiliknya (niemandsgrond, banyak
            terdapat di Jawa Barat dan Jawa Timur), maka pemerintah dapat
            mengeluarkan dekrit dengan bebas. Adapun untuk tanah-tanah
            yang termasuk wilayah kekuasaan suatu desa, haruslah diadakan
            perbedaan antara warga desa dari desa itu sendiri dengan orang-
            orang dari luar desa (vreemden).
               Tetapi semua ini tidak terjadi. Sebab pada waktu orang
            telah siap menghadapi pelaksanaan dari pasal-pasal yang
            baik itu, orang kemudian malah menggabungkan diri dengan
            pendapat dari Kegge yang menentang perumusan secara
            luas dari hak ulayat (beschikkingsrecht) dan hak buka tanah
            (ontginningsrehct) tersebut. Adapun Kegge berkata bahwa
            tanah yang di-hak-i dengan hak ulayat itu  hanyalah tanah-
            tanah “yang secara terus-menerus” digunakan oleh para warga
            desa itu. Padahal tanah-tanah “yang secara terus-menerus”
            digunakan itu hanyalah tanah-tanah “yang dimiliki oleh
   126   127   128   129   130   131   132   133   134   135   136