Page 134 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 134
C. Van Vollenhoven 95
1867. Sebab beslit itu melarang, tidak saja pemberian-pemberian
tanah karang desa, tanah-tanah pekarangan dan sawah-sawah,
tetapi dengan mutlak juga tanah-tanah dimana terdapat hak
ulayat dari desa (dorpsbeschikkingsgrond). 26
Maka peraturan yang tepat ialah bahwa untuk mendapatkan
tanah-tanah yang tidak ada pemiliknya, seorang pengusaha
hanya diharuskan berurusan dengan pemerintah, tetapi untuk
mendapatkan tanah-tanah yang tidak dibudidayakan yang
ada dalam wilayah kekuasaan suatu desa, maka yang pokok
dan pertama-tama harus diperhatikan oleh pengusaha itu
ialah persetujuan dari desa tersebut, pembayaran rekognisi
dan menjamin kepentingan-kepentingan penduduk desa itu.
Dengan demikian persoalan tersebut akan menjadi sehat.
Tetapi para birokrat bertindak lain. Mereka bahkan
melakukan apa yang telah dilarang oleh Tweede Kamer pada
tahun 1867 dan 1870, yaitu mengambil tanah-tanah yang tidak
dibudidayakan yang termasuk wilayah kekuasaan suatu desa.
Namun berlainan dengan tindakan mereka di pulau Sumatera
yang menganggap hak ulayat tersebut sebagai angan-angan yang
tidak mungkin diakui, dan tidak pula dengan mencabut secara
terang-terangan apa yang ditetapkan oleh Agrarisch Besluit 1870,
pemerintah “menyelinap,” dengan perbaikan redaksi dari pasal
tersebut dengan membuat sebuah perumusan baru mengenai
26 Catatan penterjemah: Prof. Vollenhoven menganggap, seperti yang
telah diuraikan di atas, bahwa sesungguhnya memang tidak perlu
untuk dengan singkat melarang pemberian tanah yang ada dalam
wilayah kekuasaan suatu desa. Cukup adanya jika pemerintah
memberi jaminan, bahwa tanah tersebut tidak akan diberikan
kecuali dengan menghormati secara penuh hak ulayat dari desa itu.
Selanjutnya dalam masalah ontginning (buka tanah), hendaknya
dibedakan antara buka tanah dalam wilayah desa sendiri, dalam
wilayah desa lain dan dalam wilayah yang tidak ada pemiliknya atau
niemansgrond.