Page 136 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 136
C. Van Vollenhoven 97
Tetapi mungkin ada yang berpendapat bahwa tujuan
dari tuan-tuan para birokrat itu tidaklah seburuk seperti apa
yang kami uraikan. Mungkin mereka hanya bersalah dalam
caranya membentuk hukum (in rechtschapenheid) dan karena
kesederhanaan hatinya (uit eenvoud des harten). Sehingga bagi
mereka hak-hak penduduk pribumi dan tanah-tanah yang
termasuk desa adalah istilah yang samar-samar, sebab seluruh
hak-hak dari penduduk pribumi, jika tidak dikodifikasikan akan
menjadi sesuatu yang sangat kabur. Akan tetapi muncul pula
pertanyaan, dapatkah hak-hak penduduk itu diperbaiki, jika
segala peraturan-peraturan yang dikeluarkan dirasakan sebagai
pelanggaran hukum oleh penduduk yang sedemikian kacau
hukum agrarianya itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah dibutuhkan uraian
yang panjang lebar. Kami hanya hendak mengemukakan dua
buah contoh supaya pembaca mau mempertimbangkannya.
Sejak sedari dulu, di Sumatera Barat dan daerah-daerah
lainnya, jika seorang asing menemukan suatu barang tambang
di dalam wilayah kekuasaan suatu desa, ia diharuskan membayar
suatu rekognisi tambang kepada desa itu. Dan tuan-tuan
birokrat pasti mengetahui juga aturan adat ini.
Sejak tahun 1871 persoalan ini diselidiki berulang-kali dan
pada tahun 1879, dengan sebuah Bijblad, pemerintah sendiri
mengharuskan sendiri membayar rekognisi tersebut. Di tahun
1899 lahir Undang-undang tentang Pertambangan. Dengan
lahirnya undang-undang ini, atas pertanyaan dari Fransen
van de Putte, maka menteri yang bersangkutan menjawab
di depan Eerste Kamer bahwa hak-hak dan kepentingan-
kepentingan orang Indonesia akan dilindungi. Undang-
undang Pertambangan ini berlaku pula di Hindia Belanda,
jadi pelaksanaannya akan dikerjakan oleh para para birokrat.