Page 130 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 130
C. Van Vollenhoven 91
dibicarakan di Tweede Kamer pada tanggal 29 November 1911,
2 dan 3 Desember 1912 dan 27 November 1913. Di sini hak-
hak penduduk yang tidak dapat disangkal dan yang pokok
bagi kelangsungan hidup mereka itu telah dikesampingkan
guna kepentingan onderneming-onderneming (perkebunan-
perkebunan) Eropa. Mula-mula menteri Malefijt, kemudian
menteri Pleyte yang dengan cermat mengembangkan lebih
lanjut apa yang selama empat puluh tahun telah diingkari
oleh tuan-tuan para birokrat, yang mengatakan bahwa semua
itu bukanlah hak-hak atas tanah, melainkan hanyalah suatu
khayalan, suatu angan yang hanya dapat menjelmakan diri
karena “mera liberitas.” Penduduk seharusnya gembira bahwa
angan-angannya itu sedemikian lamanya telah dibiarkan; bahwa
rekognisi sedemikian lamanya masih diperbolehkan.
Bertentangan dengan itu hendaknya kita mengingat kembali
apa yang telah diucapkan oleh Baud pada tahun 1854 di depan
Tweede Kamer, yaitu pada waktu ia memberikan penjelasan
atas usulannya yang kemudian menjadi undang-undang. Baud
berkata: “Jika ada hak-hak penduduk untuk mengumpulkan
getah dari hutan-hutan guna dijual untuk keperluan hidupnya,
maka adalah merupakan perbuatan yang sangat tidak patut,
bahkan menjadi suatu pelanggaran hak yang kejam jika hutan
tersebut kemudian melulu dihaki oleh seorang pengusaha
bangsa Eropa dan hak-hak dari penduduk itu dikesampingkan.”
Maka masihkah perlu diragukan jika kita mengatakan bahwa
seorang pejabat pemerintah ataupun seorang hakim telah turut
melanggar undang-undang jika ia menghancurkan hak-hak dari
penduduk itu meskipun beralasan pada peraturan-peraturan
administratif?

