Page 152 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 152
C. Van Vollenhoven 113
Maka dengan peraturan ini, hak buka tanah dari
anggota-anggota desa, yang dengan nyata-nyata dijanjikan
perlindungannya oleh sebuah verordening dari tahun 1874, telah
dimungkiri. Aktivitas seperti menggembala ternak, menebang
kayu, mengumpulkan hasil hutan hanya diperbolehkan sebagai
suatu “pemberian” dari pemerintah; membayar rekognisi kepada
desa dianggap bertentangan dengan hukum; maka semua
tuntutan (pretensies) sekarang telah dikembalikan dalam “batas-
batas yang sewajarnya” dan “azas-azasnya yang sehat.”
Adapun peraturan agraria untuk daerah Manado, mempunyai
sifat-sifat yang sama kaitannya dengan kedua peraturan tersebut
diatas. Para birokrat suka sekali menuduh bahwa hukum adat
yang samar-samar dari orang Indonesia itu sangat banyak aneka
ragamnya; maka dalam peraturan-peraturan agraria, untuk
semua wilayah-wilayah hukum (rechtskringen), para birokrat
mengambil perturan-peraturan Jawa sebagai sandarannya.
Dan sebegitu jauh kekhilafan mereka itu, sehingga bezit atau
beletrecht, sebuah hak yang sangat penting dalam anggapan
penduduk (meskipun tidak ekonomis), tidaklah disinggung-
singgung dalam peraturan agraria; hak tersebut harus dianggap
sebagai ondingen, sebuah angan-angan semata-mata. Juga Jawa
Barat, hak tjrik dari penduduk diatas sebidang tanah liar saja
tidak diakui. Maka apa salahnya jika di Minahasa, “angan-angan”
semacam itu tidak diakui pula? Adapun alasan para birokrat
dalam mempertahankan pendapatnya tersebut ada tiga buah.
1. Karena tanah itu berwujud tanah-tanah yang tidak
dibudidayakan yang mutlak (absoluut woest); maka
bagaimana mungkin terdapat hak-hak diatas tanah-tanah
tersebut?