Page 154 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 154
C. Van Vollenhoven 115
Sekarang peraturan-peraturan agraria bertindak demikian
juga, secara jujur dan praktis, seharusnya pemerintah mengakui
hak desa atau gabungan desa untuk berkuasa di atas wilayah
kekuasannya sendiri. Namun harus tetap meminta izin dari
pemerintah jika di situ tersangkut orang-orang asing (vreemden),
dan jika kemudian menempatkan seorang pegawai pemerintah
sebagai penguasa untuk daerah tidak bertuan (niemandsgrond).
Tetapi sebaliknya, peraturan ini menempatkan pemerintah desa
sebagai penguasa untuk ladang-ladang yang berpindah-pindah
(wisselvallige bouwvelden) dan seorang ambtenaar tinggi sebagai
penguasa untuk tanah-tanah pertanian yang tetap. Ini adalah
sebuah pertentangan yang sungguh tidak masuk akal dalam
hukum adat; suatu pemberian kekuasaan kepada desa, yang
sama sekali tidak diperlukan.
M ung kin per bedaan y ang dilakukan oleh
gemeenteordonnantie untuk Sumatera Barat (1914-1918) antara
mempersewakan tanah desa kepada anggota-anggota desa
sendiri dan mempersewakan tanah desa kepada orang asing,
dapat kita cari hubungannya dalam perbedaan yang diadakan
oleh pasal-pasal tersebut di atas.
Adapun keragu-raguan yang kedua dapat kita lihat dari
beberapa pernyataan, yang menganggap semua penghapusan-
penghapusan, pengingkaran-pengingkaran serta pengundang-
undangan atas hak-hak penduduk tersebut sebagai suatu
tindakan yang sah menurut hukum. Bahwa pelanggaran-
pelanggaran hak itu ada juga gunanya, atau bahwa kerja sama
antara badan pengadilan dan kepolisian dapat memberantas
adanya roo ouw,-memang tidak dapat disangkal (meskipun
dengan ini pemerintah mengabaikan pendidikan orang
Indonesia).