Page 156 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 156
C. Van Vollenhoven 117
yang praktis dengan hasil yang lebih besar daripada peraturan-
peraturan yang dibuat menurut model Jawa. Di dalam peraturan
Jambi ini, hak ulayat desa-desa atau gabungan desa-desa tetap
diakui, dan kerjasama dengan kepala-kepala rakyat sangat
diperhatikan. Juga di dalam mengatur masalah pengumpulan
getah (damar) di daerah Toraja yang masih terbelakang, dimana
beschikkingsrecht boleh diibaratkan masih belum dewasa
(seperti juga di Gayo dan Gorontalo), pemerintah disitu tidaklah
takut membuat peraturan yang mendahului beschikkingsrecht
yang akan datang, sehingga dengan demikian telah dipercepat
suatu proses, yang seluruhnya berjalan segaris dengan pikiran-
pikiran rakyat di situ. Memang peraturan-peraturan semacam
ini bekerja tidak sebegitu cepat dan tidak sebegitu makanis
seperti ordonansi-ordonansi dari Buitenzorg (Bogor), tetapi di
dalam kenyataannya ia mendidik kepala-kepala rakyat untuk
berpemerintahan sendiri, dan secara jujur, ia juga mendidik kita
sendiri. Tetapi terhadap semua uraian di atas, para birokrat pasti
akan mengangkat hidupnya.
Sesungguhnya di dalam memainkan kartunya, para
birokrat tidak dapat melepaskan diri dari satu hal, yaitu istilah
nama-nama terkutuk, yang oleh ahli-ahli hukum Barat (dan
seringkali juga oleh pengenal-pengenal hukum Timur) biasa
dipergunakan untuk menyebut hak-hak penduduk atas tanah-
tanah yang tidak dibudidayakan. Misalnya sampai sekarang
masih saja dipergunakan istilah eigendom untuk menyebut
beschikkingsrecht yang tidak dapat diasingkan itu, hanya karena
ia merupakan hak yang tertinggi atas tanah, dan dirasakan tidak
ada nama baru yang baik.
Maka bagai seorang anak kecil, para birokrat tidak suka
mendalami persoalannya, melainkan hanya tertarik pada
bunyi kata-katanya. Mereka mengatakan, bahwa “Tanah-
tanah yang hampir merupakan sebuah eigendom yang penuh,