Page 16 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 16
C. Van Vollenhoven xv
Dalam mengemukakan kritiknya, van Vollenhoven
membagi uraian naskah buku ini dalam dua kelompok: satu
abad ketidakadilan atas tanah-tanah pertanian (bouwvelden),
dan setengah abad ketidakadilan atas tanah-tanah yang tidak
dibudidayakan (woeste gronden). Semua ketidakadilan ini
diperparah oleh Domeinverklaring (pernyataan domein), yang
dideklarasikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1870
untuk diberlakukan di Jawa dan Madura, dan beberapa tahun
berikutnya untuk wilayah luar Jawa dan Madura. Pernyataan
domein itu berbunyi “(S)emua tanah, yang orang lain tidak
dapat membuktikan bahwa tanah itu eigendomnya, adalah
domein (milik) negara” (alle grond, waarop niet door anderen
regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is).
Pernyataan yang dimuat dalam pasal 1 dari Agrarisch Besluit
(Staatsblad 1870 No. 118) ini memiliki akibat bahwa semua tanah
yang dimiliki oleh rakyat dengan hak apa saja, kecuali dengan
hak “eigendom,” adalah milik negara (landsdomein).
Daripadanya timbul pengertian bahwa tanah negara
adalah semua tanah yang mana di atasnya tidak terdapat hak
eigendom. Kemudian, tanah milik negara dibedakan dalam dua
jenis yaitu “tanah negara bebas” (vrij lands/staatsdomein) dan
“tanah negara tidak bebas” (onvrij lands/staatsdomein). “Tanah
negara bebas” adalah tanah- tanah yang belum dimiliki atau
diusahakan oleh orang atau badan hukum apapun, juga tanah-
tanah yang tidak dikuasai, diduduki dan dimanfaatkan rakyat
dan biasanya berupa hutan rimba. Dikenal dengan istilah woeste
gronden, secara umum tanah-tanah ini dinyatakan pemerintah
kolonial sebagai tanah “di luar” wilayah/kawasan desa (buiten
dorps gebied) sesuai dengan ketentuan pasal 3 Agrarische Wet
1870. Juga lazim disebut sebagai tanah GG. “Tanah negara tidak
bebas” adalah tanah-tanah yang sudah dan sedang dikuasai,
diduduki, digunakan dan dimanfaatkan secara nyata oleh rakyat