Page 119 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 119
106 Aristiono Nugroho, dkk.
tiba-tiba melainkan berdasarkan kondisi masing-masing.
Sebagaimana diketahui: Pertama, kulian wajib menyerahkan
hak garap atas sebagian tanah sawah yang dimilikinya kepada
pemerintah desa. Kedua, pemerintah desa wajib meredistri-
busikan hak garap tersebut kepada buruh kulian. Ketiga, buruh
kulian wajib melaksanakan kerja bakti dan ronda malam.
Dalam konteks kekinian, pembagian kerja yang bermakna
pembagian kewajiban antara kulian dengan buruh kulian
merupakan ikhtiar untuk mengatasi keberadaan 60 keluarga
miskin di Desa Karanganyar. Hal ini juga merupakan tantangan
bagi pelaksanaan landreform lokal, yang telah diikhtiarkan oleh
para tokoh Desa Karanganyar untuk mewujudkan penguasaan
tanah yang adil, menyejahterakan, dan mampu mewujudkan
harmoni sosial. Berdasarkan ikhtiar inilah sejak tahun 1947
sampai dengan sekarang, selalu ada 76 keluarga petani yang
tidak memiliki tanah sawah, yang akhirnya dapat menggarap
tanah sawah seluas 90 ubin.
B. Dukungan Masyarakat
Ada tradisi oral di sebagian masyarakat Desa Karanganyar,
dan sebagian masyarakat Kecamatan Pituruh, yang menyebut
“kepala desa” dengan istilah “lurah”, dan ada pula sebagian lain-
nya yang menyebut dengan istilah “gelondong”. Padahal menurut
beberapa tokoh setempat kedua istilah ini (“lurah” dan “gelon-
dong”) memiliki pengertian yang berbeda. Istilah “lurah” memi-
liki makna sebagai orang yang mengepalai satu desa, sedangkan
istilah “gelondong” memiliki makna sebagai orang yang menge-
palai satu desa dan mengkoordinir beberapa kepala desa di desa-
desa sekitarnya. Sebagai contoh, pada saat Lurah Ngandagan
dijabat oleh Soemotirto, dan Lurah Karanganyar dijabat oleh