Page 123 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 123
110 Aristiono Nugroho, dkk.
Karanganyar ditanami padi “Dewi” yang berasnya pulen, dengan
masa tanam dua kali setahun. Pasa masa itu belum ada petani
yang menanami tanah sawahnya dengan palawija seperti saat
ini. Pada masa itu, selain padi “Dewi” adapula sebagian petani
yang menanami tanah sawahnya dengan padi ketan.
Pada tahun 1970, barulah tanah sawah di Desa Karangnyar
ditanami padi IR dengan masa tanam dua kali setahun. Selan-
jutnya padi lokal yang ditanam di Desa Karanganyar secara
serentak diganti dengan padi VUTW (Varitas Unggul Tahan
Wereng), tetapi masyarakat (konsumen) tidak menyukai nasi
yang diproses dari beras ini (VUTW), karena tidak enak rasanya.
Pada tahun 1980 padi VUTW diganti dengan padi Cisadane,
yang nasinya cukup enak bila dibandingkan dengan nasi yang
diproses dari beras VUTW. Hanya saja kelemahan padi Cisadane
antara lain tidak tahan wereng. Akhirnya padi Cisadane diganti
dengan padi IR-64, yang setelah itu ternyata masih diganti lagi
dengan padi Ciherang. Saat ini (tahun 2012), masyarakat diberi
kebebasan menentukan sendiri padi yang akan ditanamnya.
Tetapi hama yang tetap harus diwaspadai adalah hama wereng,
yang untuk penanganannya antara lain dapat diatasi dengan
penanaman padi secara serentak. Hama wereng muncul ketika
penanaman padi tidak dilakukan secara serentak, di mana hal
ini seperti membuka “rumah makan” bagi wereng. Pada kurun
waktu 1970-an dan 1980-an petani belum tertarik menanami
tanah sawahnya dengan palawija, sehingga tanah sawah hanya
ditanami padi dua kali dalam setahun.
Kondisi pertanian yang relatif statis ini mendorong Sami-
nah (Kepala Desa Karanganyar, tahun 1977 – 1989) untuk melaku-
kan terobosan. Sebagai seorang wanita, ia peka dengan kebu-
tuhan keluarga petani yang terus meningkat, sehingga tanah