Page 125 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 125
112 Aristiono Nugroho, dkk.
Sementara itu, profesi yang ditekuni oleh masyarakat Desa
Karanganyar bervariasi, yaitu ada profesi utama (misal petani)
dan profesi tambahan (misal tukang batu). Hal ini dilakukan
masyarakat sebagai ikhtiar, agar mampu memenuhi kebutuhan
keluarga yang terus meningkat. Sebagian anggota masyarakat
tetap memilih pekerjaan sebagai petani, karena mereka masih
memiliki kesempatan memperoleh hasil yang baik. Kesempatan
itu ada, karena tanah sawah di Desa Karanganyar relatif subur,
dengan adanya irigasi dari Bendungan Wadas Lintang. Biasanya
tanah sawah ditanami palawija (kedelai) untuk 1 kali panen,
dan ditanami padi untuk 2 kali panen dalam setahun.
Bagi petani yang tidak mempunyai tanah sawah, mereka
terbantu dengan adanya tanah sawah garapan seluas 90 ubin,
yang disebut buruhan desa. Kondisi ini merupakan wujud dari
pelaksanaan landreform lokal di Desa Karanganyar, meskipun
untuk itu mereka harus melaksanakan kerigan (kerja bakti) yang
dilakukan setiap selapanan (misal dari Jum’at Kliwon sampai
Jum’at Kliwon berikutnya), atau setiap 35 hari. Selain itu para
penggarap tanah buruhan desa ini juga wajib melaksanakan
ronda, di mana setiap orang mendapat jatah ronda satu minggu
sekali, dengan koordinator ronda pada setiap harinya adalah
seorang perangkat desa.
Petani yang menggarap tanah buruhan desa seluas 90 ubin
dalam 1 (satu) musim tanam dapat menghasilkan padi kering
sebesar 6 kuintal yang harga per kuintalnya sebesar Rp.
400.000,- sehingga kalau 6 kuintal mencapai Rp. 2.400.000,-.
Sementara itu, biaya produksi atas tanah sawah adalah sebesar
Rp. 500.000,- per 1 iring (120 ubin), sudah termasuk sewa traktor
sebesar Rp. 80.000,- per iring, sehingga biaya produksi atas
tanah sawah seluas 90 ubin adalah sebesar Rp. 375.000,-. Dengan