Page 121 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 121
108 Aristiono Nugroho, dkk.
dalam penerapannya membutuhkan modifikasi seperlunya, agar
sesuai dengan kondisi Desa Karanganyar yang berbeda dengan
kondisi Desa Ngandagan. Sebagaimana diketahui Desa Karang-
anyar memiliki perbedaan dengan Desa Ngandagan, terutama
dalam hal ukuran Desa Karanganyar yang lebih kecil dari Desa
Ngandagan, serta kondisi geografis Desa Karanganyar yang tidak
memiliki areal perbukitan seperti di Desa Ngandagan.
Berdasarkan kondisi Desa Karanganyar, R. Sosro Wardjojo
telah menetapkan landreform lokal yang berbeda dengan yang
dilaksanakan di Desa Ngandagan. Sebagai contoh, petani yang
tidak memiliki tanah sawah di Desa Ngandagan mendapat tanah
sawah garapan seluas 45 ubin, sedangkan petani di Desa Karang-
anyar mendapat tanah sawah garapan seluas 90 ubin. Meskipun
terdapat kondisi yang sama antara Desa Ngandagan dengan
Desa Karanganyar dalam hamparan tanah garapan, yaitu tanah
garapan tersebut (45 ubin di Desa Ngandagan dan 90 ubin di
Desa Karanganyar) tidak berada dalam satu hamparan, atau
tidak dalam satu bidang tanah. Misalnya ada tanah garapan 90
ubin di Desa Karanganyar yang terdiri dari tiga bidang tanah,
yaitu bidang tanah pertama seluas 60 ubin, bidang tanah kedua
seluas 15 ubin, dan bidang tanah ketiga seluas 15 ubin.
Para penerima hak garap atas tanah sawah tersebut wajib
melaksanakan tugas jaga malam dan kerigan (kerjabakti dan
kerja sosial). Hak garap ini tidak bisa diwariskan, di mana bila
sudah tidak mampu mengerjakan tanah sawah garapan, maka
tanah tersebut dikembalikan pada Pemerintah Desa Karang-
anyar, untuk kemudian diredistribusikan kepada petani lainnya
yang tidak memiliki tanah sawah. Begitu pula bila ada penggarap
yang meninggal dunia, karena sudah ada petani yang tidak
memiliki tanah sawah, yang masuk daftar tunggu untuk meng-