Page 53 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 53
40 Aristiono Nugroho, dkk.
demikian petani yang tidak memiliki tanah sawah dapat dibantu
oleh Pemerintah Desa Karanganyar (termasuk oleh pemiliki
tanah buruhan desa). Apalagi tanah sawah yang digarap cukup
luas, yaitu 90 ubin; bila dibandingkan penggarap di Desa Ngan-
dagan yang hanya menggarap 45 ubin.
Sementara itu, bagi Paulus Sukarma (warga Desa Ngan-
dagan), Desa Karanganyar cukup bagus pertanahannya, karena
tanah buruhan yang digarap petani yang tidak memiliki tanah
sawah, ternyata lebih luas dari yang digarap oleh petani yang
tidak memiliki tanah sawah di Desa Ngandagan. Menurutnya,
hal itu terjadi karena petani yang membutuhkan hak garap di
Desa Ngandagan pada saat itu (tahun 1947-an) lebih banyak,
daripada petani yang membutuhkan hak garap di Desa Karang-
anyar. Tetapi Paulus Sukarma sedikit memberi kritik, karena
jumlah penggarap di Desa Karanganyar hanya 76 orang, diban-
dingkan dengan Desa Ngandagan yang penggarapnya mencapai
128 orang.
Dengan demikian ada arti yang berkembang dari nama
“Karanganyar” di masa lalu dengan artinya di masa kini. Pada
masa lalu “Karanganyar” berarti “pekarangan baru” karena
berawal dari sebuah perkampungan kecil di ujung desa, maka
pada masa kini nama “Karanganyar” berarti “keunggulan dan
sebuah kekaguman dari masyarakat di desa-desa sekitarnya”.
Mereka kagum karena Pemerintah Desa Karanganyar atas
dukungan para pemilik tanah, berhasil mendistribusikan hak
garap atas tanah sawah seluas 90 ubin, kepada petani yang
tidak memiliki tanah sawah.
Kekaguman muncul karena adanya pengendalian hak atas
tanah versi Desa Karanganyar, di mana untuk setiap anggota
masyarakat yang memiliki tanah sawah seluas 250 ubin wajib