Page 107 - Konstitusionalisme Agraria
P. 107
kedudukan dihadapan hukum, terutama antara pria dan wanita
dalam memperoleh hak atas tanah; dan (v) kedudukan negara yang
kuat sehingga negara dapat menjamin terpenuhinya kepentingan
umum (Sodiki, 2013:191-3).
Keberadaan UUPA sebagai bagian dari konstitusi agraria
Indonesia perlu untuk terus dipertahankan dan tidak dicabut.
Kalaupun sekiranya diperlukan perubahan, hal itu dilakukan
terhadap beberapa ketentuan yang tidak menghilangkan semua
prinsip-prinsip dasar yang mendasari keberadaan UUPA. UUPA
patut dipertahankan bukan saja sebagai dokumen hukum, melainkan
sebagai dokumen sejarah atau bahkan sebagai sebuah dokumen
antropologi yang dibentuk tatkala sebuah bangsa merdeka mencoba
menggali norma-norma hukum yang ada di dalam masyarakatnya
untuk menggantikan sistem hukum agraria kolonial. Sifat simbolik
dari UUPA perlu disetarakan sebagai bagian dari konstitusi yang
keberadaannya terdapat di luar teks Undang-Undang Dasar yang
terkodifikasi.
Fondasi Regulasi Pertambangan Nasional
Selain keberadaan UUPA, pada periode Rezim Nasionalis ini juga
dilahirkan sejumlah peraturan yang menjadi dasar bagi hukum
pertambangan nasional. Terdapat sembilan undang-undang yang
berkaitan dengan pertambangan yang mencerminkan politik hukum
nasional di bidang pertambangan. Hal ini dimulai dengan keluarnya
UU No. 10 Tahun 1959 tentang Pembatalan Hak-hak Pertambangan.
Perusahaan-perusahaan pertambangan Belanda yang terkena
pembatalan hak tersebut meliputi delapan perusahaan yang memegang
2.452 izin penyelidikan tambang, empat perusahaan yang memegang
60 konsesi eksplorasi saja, lima perusahaan yang memegang 66
konsesi eksplorasi dan eksploitasi, 59 perusahaan yang memegang 272
konsesi eksploitasi saja, dan 10 perusahaan yang sedang mengajukan
konsesi eksplotasi (Asshiddiqie, 1994:189-90). Pada tahun 1961 daftar
perusahaan pertambangan yang dibatalkan hak-nya bertambah dengan
dikeluarkannya UU No. 11 Tahun 1961 tentang Tambahan atas Lampiran
76 Konstitusionalisme Agraria