Page 125 - Konstitusionalisme Agraria
P. 125
Tabel di atas tidak menunjukkan hasil program land reform
yang mulai dijalankan pada tahun 1961. Ketika sensus pertanian 1963
program land reform baru saja berjalan dua tahun, baru sedikit tanah-
tanah yang telah diretribusi bahkan di banyak tempat masih tahap
pendataan tanah obyek retribusi. Setelah empat tahun pelaksanaan
program tersebut mulai menunjukkan keberhasilan di beberapa
wilayah seperti Sumatera dan Jawa terutama dalam mengurangi
konsentrasi penguasaan tanah dan proporsi petani tak bertanah.
Wiradi dan Bachriadi menyebutkan ada dua kategori petani tak
bertanah atau “tuna kisma” (landless), yakni absolute-landless dan
landless-tenant (Wiradi dan Bachriadi, 2011:6). Absolute-landless
merujuk pada rumah tangga pertanian atau petani yang tidak
memiliki kontrol sama sekali atas tanah; buruh tani masuk dalam
kategori ini. Landless-tenant merujuk pada rumah tangga pertanian
atau petani yang tidak memiliki tanah tetapi menggarap tanah yang
dimiliki oleh orang lain dengan kesepakatan bagi hasil.
Mutu para pelaksana pemerintah dan para aparat penegak
hukumnya tidak memadai dan pelaksanaannya mengalami
hambatan nyata. Setelah pergantian rezim pemerintahan pada
pertengahan dekade 1960-an, pemerintahan Orde Baru secara
perlahan menghentikan program land reform.
Di dalam laporan Dirjen Agraria tahun 1969 dinyatakan
80,8% dari tanah yang tersedia telah tereditrisbusi rata-rata seluas
0,5 hektar per rumah tangga (penerima) pada Fase I (wilayah yang
termasukpada fase ini adalah Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Madura, Bali dan Lombok). Sementara Fase II
(wilayah lainnya di Indonesia) sebanyak 72% dari tanah yang tersedia
telah diresdistribusi dengan rata-rata 1,4 hektar per rumah tangga
(penerima). Dilihat dari banyaknya tanah yang dibagikan dan jumlah
penerima, program ini masih terkonsentrasi di pulau Jawa, Madura
dan Bali dan beberapa wilayah di Sumatera (Morad 1970:16 dalam
Wiradi dan Bachriadi, 2011:6).
Dalam versi Menteri Agraria saat itu, Mr. Sadjarwo (lih.Fauzi,
2002), sejumlah hambatan pelaksanaan land reform, yang baru
94 Konstitusionalisme Agraria