Page 151 - Konstitusionalisme Agraria
P. 151
menyadarkan Soeharto. Setelah 1974, kebijakan ekonomi lebih
proteksionis.
Sejak dekade 1980-an, kebijakan proteksi yang telah dirintis
menguatkan kontrol pemerintah. Dengan turunnya harga
minyak, yang berarti turunnya pendapatan pemerintah dari sektor
perminyakan, Indonesia dihadapkan pada kekuatan-kekuatan
liberalisme yang mendesak pemerintah Indonesia melakukan
deregulasi dan debirokratisasi untuk lebih mudah diterima oleh
perekonomian global (Fauzi, 2012: 61). Kebijakan yang proteksionis
itu malah memberikan keuntungan yang lebih besar kepada sedikit
perusahaan yang bergerak dalam kegiatan industri perkayuan yang
dikontrol kuat oleh pemerintah.
Model eksploitasi yang berkembang kemudian adalah model
yang tersentralisasi dengan Soeharto sebagai puncak pemegang
kendali. Kebijakan proteksionis dan sentralisasi inilah yang mendorong
lahirnya konglomerasi, sedikit orang yang mendapatkan paling besar
manfaat dari kekayaan alam, seperti Bob Hasan, Probosutedjo dan
kroni-kronis Soeharto lainnya. Pada tahun 1994, sepuluh kelompok
perusahaan menguasai 28 juta ha (45%) dari konsesi penebangan
(logging concessions). Lingkaran dalam keluarga Soeharto memainkan
peranan penting dalam industri perkayuan tersebut.
Bergerak ke Laut: Kebijakan Perairan dan Kelautan
Pada periode ini terdapat sejumlah undang-undang di bidang
perairan dan kelautan yang menunjukan bahwa pemerintah punya
perhatian yang tidak kecil pada bidang tersebut. Hal ini akan lebih
jelas dapat dimengerti jika kita menelaah doktrin wawasan nusantara
untuk mewujudkan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan
politik, satu kesatuan sosial dan budaya, dan satu kesatuan ekonomi
sebagaimana dirumuskan dalam GBHN 1973. Sejumlah peraturan
27
di bidang perairan dan kelautan dilakukan bukan saja untuk
meningkatkan manfaat yang ada di dalam air dan laut, tetapi juga
27 Lihat Bab II, Butir E, Nomor 1, 2, 3, dan IV dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara
120 Konstitusionalisme Agraria