Page 213 - Konstitusionalisme Agraria
P. 213
memajukan hak asasi manusia dan hak atas lingkungan, yang
berbasis di Indonesia, Inggris dan Jerman, kemudian mengajukan
surat permohonan kepada Pemberantasan Diskriminasi dan Rasial
(Convention on the Elimination of Racial Discrimination, CERD)
di Jenewa yang mendesak dan merekomendasikan kepada Komisi
PBB memperhatikan dan mempertimbangkan situasi Orang Malind
dan masyarakat adat lainnya, yang ada di wilayah pemerintahan
Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.
MP3EI memperjelas posisi pemerintah yang pro-kapital,
bukan pro kepada rakyat. Hal ini nampak dari fundamen
pembangunan yang bersandar pada pelaku ekonomi swasta
nasional dan asing, bukan pada kekuatan ekonomi nasional
baik melalui BUMN, BUMD maupun usaha-usaha kelompok
masyarakat. Pola ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pola
yang diterapkan sebelumnya di Indonesia. MP3EI mempersempit
pelaku pembangunan sebatas pemerintah dan dunia usaha.
Lingkup dunia usaha pun tanpa menyertakan koperasi. Perguruan
tinggi dan lembaga riset, organisasi non-pemerintah dan
masyarakat dikesampingkan. Tak berlebihan untuk mengatakan
bahwa dalam konsep MP3EI, masyarakat dipandang sebagai
obyek pembangunan, bukan subyek pembangunan (Basri, 2013).
Pendekatan yang hendak dibangun melalui MP3EI adalah model
kerjasama pemerintah dan swasta atau Public-Private Partnership
(PPP) yang memberikan peran besar kepada swasta untuk
melakukan pembangunan, khususnya infrastruktur, dengan dalih
bahwa negara kekurangan biaya untuk mengadakan pembangunan
sendiri. Perusahaan swasta memperoleh konsesi pengelolaan atas
kontribusinya untuk membangun infrastruktur mencapai lebih
dari lima puluh tahunan. MP3EI merupakan agenda dari kapitalis
yang didesakan agar menjadi kebijakan negara.
Legalisasi Hak atas Tanah
Di dalam ranah kebijakan pertanahan neoliberalisme, legalisasi
tanah melalui program sertifikasi merupakan salah satu yang
182 Konstitusionalisme Agraria