Page 295 - Konstitusionalisme Agraria
P. 295
19. PUU Kehutanan V: Konstitusionalitas pendefinisian
kawasan hutan
Pemohon dalam perkara No. 45/PUU-IX/2011 mengenai
pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah 5
orang bupati dari Kalimantan Tengah ditambah dengan seorang
pengusaha, antara lain: (1) Muhammad Mawardi/Bupati Kapuas;
(2) Duwel Rawing/Bupati Katingan; (3) H. Zain Alkim/Bupati Barito
Timur; (4) H. Ahmad Dirman/Bupati Sukamara; dan (5) Hambit
Bintih/Bupati Gunung Mas; dan (6) Akmad Taufik/Pengusaha.
Pada intinya pemohon mengajukan pengujian terhadap
definisi kawasan hutan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 3
UU Kehutanan yang berbunyi: “Kawasan hutan adalah wilayah
tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” Menurut
pemohon, frasa“ditunjuk dan atau” dalam ketentuan tersebut
bertentangan dengan UUD 1945. Dengan berlakunya ketentuan
definisi kawasan hutan sebagaimana Pasal 1 angka 3, dianggapnya
telah merugikan hak konstitusional pemohon baik selaku kepala
daerah dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya maupun sebagai
hak milik bagi pengusaha. Mahkamah Konstitusi mengabulkan
permohonan pemohon dalam sidang pembacaan putusan pada
tanggal 21 Februari 2012 sehingga mengubah Pasal 1 angka 3 UU
Kehutanan menjadi berbunyi: “Kawasan hutan adalah wilayah
tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap.” Perubahan definisi ini
merupakan hal yang mendasar sebab kawasan hutan merupakan inti
dari penguasaan pemerintah c.q. Kementerian Kehutanan terhadap
tanah-tanah hutan.
Penunjukan Kawasan hutan secara otoriter
Dalam putusan itu Mahkamah Konstitusi memberikan sejumlah
pertimbangan penting yang digunakan sebagai argumentasi untuk
mengabulkan permohonan. Mahkamah Konstitusi dalam putusan
itu menyampaikan bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat
264 Konstitusionalisme Agraria