Page 296 - Konstitusionalisme Agraria
P. 296
administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya,
akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan
perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen
(discretionary powers). Penunjukan belaka atas suatu kawasan
untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-
tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan
hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan,
merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan
kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak
tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak
memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers).
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa
tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang
banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan. Dengan kata lain,
penunjukan saja tidak cukup sebagai dasar hukum yang final untuk
menentukan suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Praktik
yang selama ini menjadikan penunjukan sebagai dasar hukum bersifat
final untuk menentukan kawasan hutan, yang tanpa berkonsultasi
dengan pihak yang terkena dampak dari penunjukan itu, merupakan
wujud pelaksanaan pemerintaha otoriter. Penunjukan harus diikuti
dengan tahapan-tahapan berikutnya sampai dengan pengukuhan
kawasan hutan.
Penunjukan merupakan tahap awal dalam pengukuhan
kawasan hutan
Definisi kawasan hutan yang mempersamakan status penunjukan
dan penetapan untuk menentukan kawasan hutan sebagaimana
terdapat di dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan yang dimohonkan
oleh pemohon, menurut Mahkamah Konstitusi, telah menimbulkan
ketidakpastian hukum. Hal itu karena Pasal 15 UU Kehutanan
menentukan bahwa penunjukan kawasan hutan merupakan tahap
awal dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Tahapan dalam
proses pengukuhan kawasan hutan meliputi: a. Penunjukan kawasan
Konstitusi Agraria dan Mahkamah Konstitusi 265