Page 343 - Konstitusionalisme Agraria
P. 343
2. Pre-emptive Right
Hakim Konstitusi Harjono dan Maria Farida Indarti juga
berpendapat bahwa divestasi saham yang dilakukan oleh
PT. NNT merupakan hak pertama-tama (firstly dalam versi
kontrak berbahasa Inggris) dikenal sebagai pre-emptive right
yang dimiliki oleh Pemerintah. Dengan demikian, uang yang
harus disediakan untuk melaksanakan hak pre-emptive tersebut
secara legal bukanlah termasuk sebagai investasi pemerintah
tetapi sebagai biaya untuk merealisasi hak tersebut, karena
hak telah timbul sejak ditandatanganinya kontrak tersebut dan
bukan merupakan investasi. Tanpa Pasal 24 Kontrak Karya,
Pemerintah tidak dapat membeli secara paksa saham asing
dari PT. NNT. Hal ini berbeda dengan investasi yang dapat
dilakukan sewaktu-waktu manakala ada dana, ada kesempatan
untuk melakukannya, serta adanya obyek investasi yang
sifatnya tidak merupakan keharusan.
Meskipun oleh Pasal 24 dibuka kemungkinan saham
tersebut dapat dibeli oleh warga negara Indonesia atau oleh
perusahaan yang dikendalikan oleh warga negara Indonesia,
namun tujuan untuk promosi kepentingan nasional akan
berbeda kalau yang memiliki saham tersebut ternyata bukan
pemerintah Indonesia. Promosi kepentingan nasional tidak
cukup hanya karena saham asing telah dimiliki oleh warga
negara Indonesia atau badan hukum yang dikendalikan oleh
warga negara Indonesia, karena dapat saja kepentingan warga
negara atau kepentingan badan hukum yang dikendalikan
warga negara berbeda dengan kepentingan nasional, bahkan
dapat bertentangan dengan kepentingan nasional. Manakala
terjadi kepentingan individu warga dan badan hukum yang
dikendalikan oleh warga negara berbeda dengan kepentingan
nasional maka tujuan Pasal 24 Kontrak Karya untuk promosi
kepentingan nasional tidak akan tercapai. Dapat terjadi
kepemilikan oleh warga negara atau badan hukum yang
dikendalikan oleh warga negara akan kontra produktif
dengan maksud dicantumkannya Pasal 24 dalam Kontrak
312 Konstitusionalisme Agraria