Page 373 - Konstitusionalisme Agraria
P. 373
perundang-undangan. Suatu tindakan pemerintah harus dalam
melakukan perencanaan harus mengikuti proses atau tahap-tahap
yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan sesuai dengan
hukum dan peraturan perundang-undangan. Tanpa itu, tindakan
pemerintah yang semena-mena dikategorikan sebagai pelaksanaan
pemerintahan otoriter.
Dalam konteks penguasaan hutan, Mahkamah Konstitusi
menyebutkan bahwa penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu
yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan,
dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen
(discretionary powers) yang dilakukan secara tiba-tiba. Dengan
kata lain, setiap langkah yang diambil oleh pemerintah yang dapat
menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara maka perlu
dilakukan melalui konsultasi dan persetujuan terlebih dahulu dari
warga negara yang akan terkena dampak dari kebijakan pemerintah.
Mahkamah Konstitusi juga menekankan pentingnya
perencanaan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang berdasarkan
kepada perencanaan tata ruang. Hal ini ditegaskan oleh Mahkamah
Konstitusi dalam putusan No. 45/PUU-IX/2011 mengenai pengujian
UU Kehutanan yang terlebih dahulu telah mengatur bahwa
pengukuhan kawasan hutan dilakukan berdasarkan rencana tata
ruang. Demikian pula dalam putusan perkara No. 25/PUU-VIII/2010
dan putusan perkara No.30/PUU-VIII/2010 mengenai pengujian UU
Minerba yang mana dalam menetapkan wilayah pertambangan,
pemerintah harus memperhatkan empat syarat yang salah satunya
adalah berdasarkan rencana tata ruang nasional. Selengkapnya
empat syarat dalam penetapan wilayah pertambangan sebagai
bentuk perencanaan di bidang pertambangan menurut Mahkamah
Konstitusi adalah;
a. Menyesuaikan dengan tata ruang nasional dan berorientasi
pada pelestarian lingkungan hidup;
b. Memastikan bahwa pembagian ketiga bentuk wilayah
pertambangan yaitu, WUP, WPR, dan WPN tersebut tidak
boleh saling tumpang tindih, baik dalam satu wilayah
342 Konstitusionalisme Agraria