Page 87 - Konflik Agraria Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik
P. 87
dua perspektif. Pertama, sebagai manifestasi konsep ekologi
masyarakat pada masa lalu di Urutsewu. Kedua, zona itu “sengaja
di-bera-kan atau belum dibudidayakan untuk pemenuhan
kebutuhan area penggembalaan ternak bagi petani di desa-desa
29
pesisir Urutsewu karena keterbatasan mobilitas tenaga. Tanah
bera sengaja inilah yang diaku sebagai tanah negara dan dipakai
untuk latihan uji coba senjata. Karena tidak dibudidayakan,
tanah bera sengaja dianggap sebagai tanah kosong tanpa pemilik
sehingga statusnya dianggap menjadi tanah negara.
Klaim TNI AD atas tanah di Urutsewu didasarkan pada
argumentasi bahwa institusi angkatan bersenjata telah
menggunakan lahan tersebut sejak 1937 dengan memanfaatkan
tanah negara yang lebarnya mencapai lebih kurang 500 meter
dari garis air laut ke arah daratan sepanjang lebih kurang
22,5 kilometer. Dengan status sebagai tanah negara, maka
penggunaannya tidak perlu melewati proses peminjaman kepada
warga sekitar. Panglima Kodam IV/Diponegoro Mayor Jenderal
30
Haryadi Soetanto mengatakan, lahan di pesisir pantai selatan
yang dikuasai oleh tentara nasional sejak 1949 membentang dari
Kecamatan Buluspesantren, Ambal, hingga Mirit. Artinya, dari
ujung barat yang dibatasi Sungai Luk Ulo hingga ujung timur
yang dibatasi Sungai Wawar. Dalam sebuah rapat koordinasi
pada 19 Mei 1990 yang diikuti TNI AD (dulu Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia), Kantor Pertanahan Kabupaten Kebumen,
dan satu tim peneliti, terdapat kesepakatan bahwa lahan tersebut
merupakan lahan milik TNI AD (Suara Merdeka, 19 Mei 2009).
29 Lampiran tanggapan FPPKS terhadap surat Bupati No. 590/6774 kepada Komnas
HAM, berdasarkan surat masyarakat Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren,
Kabupaten Kebumen pada Ketua Komnas HAM pada 13 Maret 2009.
30 Haryadi Soetanto menjabat sebagai Panglima Kodam IV/Diponegoro selama
Juli 2008–Oktober 2009.
62 Konflik Agraria di Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik