Page 319 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 319

292     Herman Soesangobeng

                 Negara RI melalui pendaftaran  tanah, dan diterbitkan bukti
                 hak hukum  yang disebut ‘sertipikat  hak milik’  (SHM),
                 sebagai hak hukum ‘de jure’.
                    Dengan demikian,  sifat kepastiannya pun harus
                 diwujudkan dalam bentuk ketelitian, kecermatan, alat bukti
                 penguasaan, pendudukan serta perbuatan hukum peralihan
                 haknya serta penyerahan tanahnya. Untuk itu, petugas
                 pendaftaran  tanah  sebagai pejabat hukum,  harus  disiplin
                 seperti anjuran Brown  dalam mengukur dan menjamin
                                      10
                 kebenaran  materiil  dari  setiap  alat  bukti    yang   digunakan
                 dalam  pendaftaran   hak  atas  tanah.  Itu  berarti, ketepatan
                 letak patok batas dan bentuk garis batas penghubung titik
                 patok satu  dengan  lainnya  pun  harus  jelas  merupakan
                 garis  lurus, dan selisih koordinat letak patok pun harus sekecil
                 mungkin. Jadi logika dan paradigma  hukum pendaftaran
                 positif  dalam  Hukum  Pertanahan  Indonesia,  membebani
                 kewajiban uji kebenaran materiil kepada petugas ukur atau
                 surveyor untuk mengukur dan menghitung setepat mungkin
                 letak  titik  patok  dengan  bentuk  garis penghubungnya;
                 sebab kepastian itu menunjukkan kepastian jaminan hukum
                 pemilikan tanah oleh pemilik ‘de jure’ .
                                                  11
                    Hal itu berarti pula bahwa tradisi pendaftaran pajak tanah
                 dengan sistim negatif   Belanda,   berupa  pengukuran   luas
                 berdasarkan   perkiraan   dan toleransi pada selisih letak titik
                 patok yang cukup besar sehingga diberi tanda dengan  selisih
                 letak  titik  patok  sekecil  mungkin.  Juga  petugas  ukur  pun
                 memiliki tanggungjawab pidana untuk mendapatkan sanksi
                 pidana atas hasil ukur yang ceroboh dan tidak teliti, sehingga
                 menyebabkan sengketa di antara pemilik tanah.  .


                10   A.G.  Brown,  Law  Relating to  Land  Boundaries  &  Surveying,
            Brisbane: Association of Consulting Surveyors Queensland, 1980, hlmn.
            196.
                11   Cf. Gerhard Larson, Land Registration and Cadastral Systems: Toolls
            for land information and management, New York: Longman Scientific  &
            Technical, 1991, hlmn. 73-76.
   314   315   316   317   318   319   320   321   322   323   324